Sabtu, 30 Maret 2013

Tugas kajian stilistika


Kajian Stilistika Dalam Kumpulan Cerpen Mereka Bilang Saya Monyet (Mereka Bilang Saya Monyet, Lintah dan Melukis Jendela)
            Karya Djenar Maesa Ayu

LATAR BELAKANG MASALAH
Trend sastra perempuan yang kian “bertelanjang” mengguncang dunia kepenulisan kreatif (terutama penulisan prosa cerpen dan novel) dan sekaligus jadi penanda muncul suatu genre sastra baru yang lebih “berani” dan “terbuka” membuat “merangsang” minat dan apresiasi sastra pada umumnya.  Ketelanjangan yang nyaris jadi mencolok  Oleh karenanya sebagian pengamat sastra yang agak sentimentil justru memplesetkan estetika (cara ucap) baru tersebut menjadi estetika “saru” (jorok) karena tanpa malu-malu menggumbar kata-kata yang dulu dianggap tabu menjadi kata-kata yang biasa saja. Seperti halnya Djenar yang mengangkat tema yang berbau-bau seks dan dalam pemilihan kata (diksi) dan  gaya bahasa yang digunakan bisa dibilang tinggi, dalam pemilihan kata djenar lebih berani dalam menggunakan simbol-simbol dalam cerpennya.
Dalam buku ini Djenar menulis 11 cerpen (9 diantaranya udah dimuat di media cetak nasional) dengan judul yang menarik pembacanya antara lain: Mereka Bilang, Saya Monyet!, Lintah, Durian, Melukis Jendela, SMS, Menepis Harapan, Waktu Nayla, Wong Asu, Namanya…, Asmoro, dan Manusya dan Dia. Kebanyakan dari 11 tema cerpen yang tertera, Djenar lebih banyak bercerita tentang hal ikhwal anak-anak remaja (sangat remaja) yang tidak bahagia dalam keluarga karena tak ada perhatian dari orang tuanya. Temanya, tentang kemunafikan, atau berkisar tentang pelecehan seksual oleh orang tua dalam keluarga dan lingkungan sekaligus Djenar mengekspos bagaimana respon atau pun akses dari si korban pelecehan. Namun saya mengambil tiga judul cerpen untuk  dikaji dengan menggunakann kajian stilistika yaitu diantaranya: Mereka Bilang Saya Monyet, Lintah, Melukis Jendela.

TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Cerpen
Cerita pendek atau cerpen merupakan salah satu karya sastra yang habis dibaca sekali duduk. Menurut Soeharianto (1982: 39), cerpen adalah wadah yang biasanya dipakai oleh pengarang untuk menyuguhkan sebagian kecil saja dari kehidupan tokoh yang paling menarik perhatian pengarang.
Menurut  Soeharianto (1982) cerita pendek bukan ditentukan oleh banyaknya halaman untuk mewujudkan cerita tersebut atau sedikit tokoh yang terdapat di dalam cerita itu, melainkan lebih disebabkan oleh ruang lingkup permasalahan yang ingin disampaikan oleh bentuk karya sastra itu. Jadi jenis cerita yang pendek belum tentu dapat digolongkan menjadi cerita pendek, jika ruang lingkup permasalahannya tidak memenuhi persyaratan sebagai cerpen. 
Media yang digunakan oleh cerpen untuk menyampaikan pikiran pengarang adalah bahasa. Bahasa dalam karya sastra merupakan lambang yang mempunyai arti yang ditentukan oleh perjanjian atau konvensi dari masyarakat. Bahasa yang digunakan di dalam karya sastra cenderung menyimpang dari kaidah kebahasaan, bahkan menggunakan bahasa yang dianggap aneh atau khas. Penyimpangan penggunaan bahasa dalam karya sastra, menurut Riffaterre (dalam Supriyanto, 2009: 2) disebabkan oleh tiga hal yaitu displacing of meaning (penggantian arti), dan creating of meaning (perusakan atau penyimpangan arti), dan creating of meaning (penciptaan arti). 
Oleh karena banyak penyimpangan arti di dalam karya sastra, maka pengamatan atau pengkajian terhadap karya sastra (cerpen) khususnya dilihat dari gaya bahasanya sering dilakukan. Pengamatan terhadap karya sastra (cerpen) melalui pendekatan struktur untuk menghubungkan suatu tulisan dengan pengalaman bahasanya disebut sebagai analisis stilistika. 
Salah satu cerpen yang sangat menarik untuk dikaji menggunakan analisis stilistika adalah cerpen Mereka Bilang Saya Monyet karya Djenar Maesa Ayu. Cerpen ini menarik untuk dikaji karena mengandung banyak majas (gaya bahasa) dan bahasa kiasan.
Stilistika
1.        Pengertian gaya bahasa
Keraf (2009:112) Gaya atau khusunya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style. Kata style diturunkan dari kata Latin stilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Keahlian menggunakan alat ini akan mempengaruhi jelas tidaknya tulisan pada lempengan tadi. Kelak pada waktu penekanan dititk beratkan pada keahlian untuk menulis indah, maka style lalu berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis dan mempergunakan kata-kata secara indah. 
Karena perkembangan itu, gaya bahasa atau style menjadi masalah atau bagian dari diksi atau pilihan kata yang mempersoalkan cock tidaknya pemakaian kata, frasa atau kalusa tertentu untuk menghadapi situasi tertentu. Sebab itu, persoalan gaya bahasa meliputi semua hirarki kebahasaan: pilihan kata secara indvidual, frasa, klausa, dan kalimat, bahkan mencakup pula sebuah wacana secara keseluruhan. Malahan nada yang tersirat di balik sebuah wacana termasuk pula persoalan gaya bahasa. Jadi jangkauan gaya bahasa sebenarnya sangat luas, tidak hanya mencakup unsur-unsur kalimat yang mengandung corak-corak tertentu, seperti yang umum terdapat dalam retorika-retorika klasik.
Walaupun kata style berasal dari bahasa latin, orang yunani sudah mengembangkan sendiri teori-teori mengenai style itu. Ada dua aliran yang terkenal, yaitu:
a)        Aliran Platonik: menganggap style sebagai kualitas suatu ungkapan; menurut mereka ada ungkapan yang memiliki style, ada juga yang tidak memiliki style.
b)        Aliran Aristoteles: menganggapan bahwa gaya adalah suatu kualitas yang inheren, yang ada dalam tiap ungkapan.
Dengan demikian, aliran Plato mengatakan bahwa ada karya yang memiliki gaya dan ada karya yang sama sekali tidak memilki gaya. Sebaliknya, aliran Aristoteles mengatakan bahwa semua karya memilki gaya, tetapi ada karya yang memilki gaya yang tinggi ada yang rendah, ada karya yang memiliki gaya yang kuat ada yang lemah, ada yang memilki gaya yang baik ada yang memilki gaya yang jelek.
Bila kita melihat gaya secara umum,  kita dapat mengatakan bahwa gaya adalah cara mengungkapkan diri sendiri, entah melalui bahasa, tingkah laku, berpakaian, dan sebagainya. Dengan menerima pengertian ini, maka kita dapat mengatakan, “Cara berpakaiannya menarik perhatian orang banyak”, “Cara penulisannya lain daripada kebanaykan orang”, “ Cara jalannya lain dari yang lain”, yang memang sama artinya dengan “gaya berpakaian “ , “gaya menulis “ dan “gaya berjalan”. Dilihat dari segi bahasa, gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa. Gaya bahasa memungkinkan kita dapat menilai pribadi, watak, dan kemampuan sesorang yang mempergunakan bahasa itu. Semakin banyak gaya bahasanya, semakin baik pula penilaian orang terhadapnya: semakin buruk gaya bahasa sesorang, semakin buruk pula penilaian diberikan padanya.
Akhirnya style atau gaya bahasa dapat dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperhatikan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Seperti halnya dengan djenar dalam kumpulan cerpennya yang berjudul Mereka Bilang Saya monyet, dalam gaya penulisannya  djenar  lebih berani, dan bahasa ynag digunakannya pun tinggi sehingga kita sebagai pembaca akan mengalami kesulitan dalam memahami cerita yang ditulisnya dan langkah baiknya kita membaca dengan berulang-ulang.
PEMBAHASAN
Dari kumpulan cerpen mereka bilang saya monyet karya Djenar Maesa Ayu, saya mengambil tiga macam cerpen untuk dijadikan bahan kajian stilistika, yaitu diantaranya Mereka bilang, Saya Monyet, Lintah, Melukir Jendela. Dari  ketiga cerpen tersebut menurut saya cocok apabila dikaji menggunkan kajian stilistika yang melihat Djenar dalam menulis ketiga cerpen tersebut menggunakan simbol-simbol atau perumpamaan yang dijadikan senjata untuk menarik pembaca, maka untuk lebih dalam saya akan mengaji kedua cerpen tersebut dengan melihat dari sisi penulis dalam pemilihan kata (diksi) dan begitu pun dari segi gaya bahasa yang digunakannya.dari diksi (pilihan kata) dan gaya bahasa yang mana
Banyak dari cerpen Djenar Maesa Ayu dalam kumpulan Mereka bilang saya Monyet! Ini berkisar atau berlatar belakang ikhwal anak-anak masih sangat remaja yang tidak berbahagia dalam keluarga, karena kurang perhatian dan kasih sayang dari orangtua, atau karena ibu atau ayah yang lebih mementingkan serta asyik dengan diri sendiri, atau karena telah kehilangan orang tua di masa yang sangat muda, berikut pelecehan seksual terhadap sang anak oleh orang dekat dalam keluarga atau oleh lingkungannya (teman sekolah), sekaligus mendedahkan respon atau akibatnya bagi para korban.  
 Dunia anak-anak adalah dunia yang kaya dengan imajinasi. Maka adalah wajar dalam menghadapi penindasan dari ibunya dan sang pacar sang ibu, sang anak dalam cerpen “Lintah” langsung melebih-lebihkan ikhwal, “Ibu saya memelihara seekor lintah “ dan seterusnya ia mendongeng tentang kecintaan sang ibu kepada lintah lebih dari pada diri sang anak, tentang lintah yang bisa membesar menjadi ular atau membelah dirinya menjadi banyak ular, tentang hubungan intim antara lintah itu dengan ibunya, tentang lintah yang itu menggerayangi tubuhnya diam-diam dan memperkosanya. Dan bahkan akhirnya lebih dari itu, sang ibu mengandung karena lintah dan berniat mengawininya hewan tersebut.
Dalam cerpen  “Lintah” imajinasi berperan sebagai  pembesaran terhadap realitas. Dengan pembesaran ini sang anak mengharapkan simpati dari para pendengar kisah, yang mungkin akan membebaskannya dari realitas yang pedih. Berbeda dengan “Lintah”, dalam “Melukis Jendela” Mayra yang tak pernah melihat ibunya dan selalu tidak mendapatkan kasih sayang ayah, berusaha meneylamatkan diri sendiri lewat imajinasi dengan melukis ayah dan ibunnya yang dari imajinasinya itu (lukisan ayah ibu) dia berangan-angan mendapatkan kasih sayang orang tuanya. Gagal dengan lukisan ayah ibu, ia melukis jendela yang memberikan kebebasan kepada dirinya. Lewat lukisan jendela itu ia bisa mendapatkan ventilasi kebebasan perasaan dan bahkan bisa melakukan pembalasan imjinatif teradap teman-teman sekolah yang telah melakukan pelecehan seksual terhadap dirinya.
Lewat lukisan jendelanya itu ia bisa membayangkan atau melihat dunia yang indah sesuai dengan hasratnya. Mayra melukis jendela, masuk dan menemukan dirinya berada di sebuah taman indah penuh warna warni. Dua anak kecil menghapiri dan tersenyum kepadanya. Wajah mereka mirip dengan mayra namun  lebih cantik. Pipi mereka merona merah, kulit mereka putih bersih, baju yang mereka begitu indah dengan mahkota bunga di kepala mereka. Mereka lebih mirip bidadari ketimbang anak manusia. Mayra mengecup mereka dengan lembut dan menuntun mereka menuju pelangi emas bertahtakan mutiara. Seorang lelaki sudah menunggu di sana. Merentangkan tangan untuk memeluk mereka semua”. Akhirnya bisa dikatakan, terinsfirasi lukisan jendelanya ia mengambil tindakan nyata membebaskan diri dari kenyataan yang menghimpitnya. Ia meninggalkan rumah dan “Mayra tidak pernah kembali”.
Maka wajar jika penggambarannya (imajinasi) “Lintah” mendapatkan pemebesaran (Hyperbolic) dan cenderung karikatural seperti tampak dalam mereka bilang, saya monyet!” dimana orang-orang munafik digambarkan sebagai hewan aneh. Bila dalam “Lintah”  sang “saya” tidak bisa melakukan perlawanan yang berarti, sang “saya” dalam cerpen ini mungkin karena tokohnya lebih dewasa bisa melakukan perlawanan dan melepaskan diri dari suasana munafik yang ditemuinya. “Tapi saya juga tahu, pesta kemerdekaan saya baru akan dimulai”.
Melukis  jendela  jika terapi ini gagal, imajinasi terasa menjadi lebih pahit dibanding realitas itu sendiri, sebagaimana diceritakan mayra lebih membenci lukisan ayah ibu yang diciptakan dibanding kegetiran yang dirasakannya dari kenyataan bahwa ia kehilangan (kasih) ibu dan kemesraan kasih sayang ayah).
Yang unik dalam  cerpen ini (MBSM), orang-orang munafik digambarkan seperti  hewan aneh:

kebutuhan saya untuk buang air kecil semakin mendesak. Saya mnegetuk pintu kamar mandi pelan-pelan, tidak ada jawaban tidak ada suara air dan tidak ada suara mengedan. Saya mendengar desahan tertahan. Desahan itu berangsur diam. Saya mengintip lewat lubang kunci bersaman dengan pintu dibuka dari dalam. Sepasang laki-laki dan perempuan keluar dari kamar mandi Yang laki-laki lantang memaki “dasar binatang! Dasar monyet ! Gak punya otak ngintip-ngintip orang!”. Seharusnya saya menghjar laki-laki berkepala buaya dan berekor kalajengking itu…”. (hal.3)

Kreatif  dalam pemilihan ide diksinya,  realitanya terkadang  binatang jauh lebih ”manusiawi” dan manusia seringkali berkelakar layaknya ”binatang”, dalam cerpen ini memberi perlawanan atas suasana kemunafikan yang ditemuinya. Menarik membaca cerpen ini karena dengan penghayatannya. Djenar mampu menggambarkan sosok-sosok munafik yang sejatinya memang terhampar di depan mata kita.

Penelitian stilistika menaruh perhatian pada penggunaan bahasa dalam karya sastra. Persoalan yang menjadi fokus perhatian stilistika adalah pemakaian bahasa yang menyimpang dari bahasa sehari-hari, atau disebut bahasa khas dalam wacana sastra. Penyimpangan penggunaan bahasa bisa berupa penyimpangan terhaap kaidah bahasa, banyaknya pemakaian bahasa daerah, dan pemakaian bahasa asing atau unsur-unsur asing. Penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan tersebut diduga dilakukan untuk tujuan tertentu.
Pusat perhatian stilistika adalah penggunaan bahasa (gaya bahasa) secara literer dan sehari-hari. Sebagai stylist, seseorang harus mampu menguasai norma bahasa pada masa yang sama dengan bahasa yang dipakai dalam karya sastra. Penggunaan gaya bahasa juga diarahkan oleh bentuk karya sastra yang ingin dihasilkan. Misalnya, gaya penataan prosa fiksi (cerpen) berbeda dengan gaya penataan bentuk puisi. Dalam cerpen, selain fokus dalam alur cerita, penulis dapat menggunakan gaya bahasa dan bahasa kiasan agar cerpen yang dihasilkan  lebih hidup dan menarik pembaca.
Salah satu cerpen yang sarat dengan gaya bahasa dan bahasa kiasan adalah kumpulan cerpen Mereka bilang saya Monyet karya Djenar Maesa Ayu. Hampir semua barisnya menggunakan kata kiasan sehingga pembaca diajak untuk menikmati kalimat demi kalimat, bukan hanya menikmati alur ceritanya saja. Gaya bahasa dan bahasa kiasan yang terdapat di dalam cerpen  Mereka bilang saya Monyet karya Djenar Maesa Ayu antara lain Paralelisme, hiperbola, simile, metafora, dan personifikasi.
GAYA BAHASA BERDASARKAN LANGSUNG TIDAKNYA MAKNA
a.Gaya Bahasa Retoris
1.    Hiperbola
Hiperbola
adalah semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal.  Gaya bahasa hiperbola yang antara lain:
“ Ular itu menyergap, melucuti pakaian saya, menjalari satu persatu lekuk tubuh saya. Melumat tubuh saya yang belum berbulu dan bersusu, dan menari-nari di atasnya memuntahkan liur yang setiap tetesnya berubah menjadi lintah……” (hal.17)

 “Saling erat, saling mengaduh, hingga senja tiba dan pasang ombak menghanyutkan tubuh mereka ketengah”. (hal 38)

“bayangan rambut hitam laki-laki yang tergerai hingga dada menari-nari tertiup angin diatas kuda putih tak berpelana. (hal. 38)

“Laki-laki berkuda dengan dad bidang dan berkulit coklat kemerah-merahan terbakar surya untuk menjemputnya”. (hal. 38)

“Mayra mengecup mereka dengan lembut dan menuntun mereka menuju pelangi bertahtakan mutiara” (hal. 41)

“saya memperhatikan bayangan diri saya di dalam cermin dengan cermat. Saya berkaki dua, berkepala manusia, tapi menurut mereka saya adalah seekor binatang.” (hal. 3)
Dan saya sangat kaget melihat seekor ular yang merah menyala” (hal.12)

”Ibu saya memelihara seekor lintah “ (hal.11)

“ Darah segar meleleh dari dalam hidungnya” (hal. 32)

“ Sepanjang hidup saya melihat manusia berkaki empat” (hal. 1)


b.    Gaya Bahasa Kiasan
Gaya bahasa kiasan ini pertama-tama dibentuk berdasarkan perbandingan atau persamaan. Membandingkan sesuatu dengan sesuatu hal yang lain, berarti mencoba menemukan ciri-ciri yang menunjukan kesamaan antara kedua hal tersebut. Perbandingan sebenarnya mengandung dua pengertian, yaitu perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa yang polos atau langsung, dan perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa kiasan.  Perbandingan dengan analogi ini kemudian muncul dalam bermacam – macam gaya bahasa kiasan, seperti diuraiakan di bawah ini.
Di samping gaya bahasa, Djenar Maesa Ayu juga menggunakan bahasa kiasan untuk menekankan makna dan mempertahankan unsur estetis. Bahasa kiasan yang terdapat pada cerpen tersebut ada beberapa bahasa kiasan di antaranya:
a.      Persamaan atau simile
Persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. Yang dimaksud dengan perbandingan yang bersifat eksplisit ialah bahwa ia langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Untuk itu, ia memerlukan upaya yang secara eksplisit menunjukkan kesamaan itu, yaitu kata-kata: seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana, dan sebagiannya. Gaya bahasa kiasan Simile diantaranya:
 “Saya hajar mukanya seperti apa yang saya harapkan sebelumnya” (hal.10)
“ Namun sikap duduk mereka masih sama seperti ketika pertama kali mereka datang ke kafe ini” (hal.5)
“Ia membayangkan laki-laki itu meraba payudaranya yang mulai tumbuh seperti yang pernah ia rasakan di kantin sekolah”. (hal. 38)
“Semuanya sunyi dan hening sama seperti ketika Mayra terjaga dari mimpinya”. (hal. 36)”
“Beberapa menit yang lalu ia tiba di sekolah dan seperti biasa lima anak berandalan itu mencegatnya di pintu pagar”. (hal. 39)
“Tidak seperti biasa, kamar itu tidak terkunci”. (hal. 41)
Sebagai anak tunggal ia menghabiskan banyak waktu hanya dengan melamun tanpa seorang pun untuk diajak bicara. (hal. 31)
“Seperti kerbau dicucuk hidungnya mereka mengikuti langkah Mayra menuju kantin”. (hal.39)

b.      Metafora
adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat: bunga bangga, buaya darat, buah hati, cindera mata, dan sebaginya. Bahasa kiasan metafora yang terdapat pada cerpen mereka bilang saya monyet antara lain:
“Kata mereka saya adalah seekor monyet” (hal. 3)
“ Saya sudah terbiasa menelan rongsokan tanpa dikunyah lebih dulu”. (hal.4)

“Dengkurannya sangat menggangu dan bau tidak sedap menyergap seisi ruangan itu” (hal. 13)
“Lintah akan kembali berubah menjadi ular-ular kecil dan menari gembira” (hal.13)
“Ular itu lalu berangsur-angsur mengecil” (hal.13)
c.       Personifikasi atau prosopopoeia
Personifikasi atau prosopopoeia adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tak bernyata seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Personifikasi (penginsanan) merupakan suatu corak khusus dari metafora, yang mengiaskan benda-benda mati bertindak, berbuat, berbicara seperti manusia. Bahasa Kiasan Personifikasi dalam cerpen melukis jendela karya Djenar Maesa Ayu antara lain:
“Sebuah jendela besar tanpa tirai menghadap ke sebuah dunia yang ia inginkan. Ia sering masuk ke dalam jendela itu lalu menemukan dirinya terbaring di hamparan hangat pasir putih dan riak ombak menggelitik pucuk jari kakinya” (hal. 38) 
“Disambut dengan kelengangan dan kesejukan dari dalam rumahnya yang ber AC, ia akan segera masuk kamar dan menghabiskan waktu bercakap-cakap dengan lukisan itu” (hal. 31)










PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam membuat cerpen, Djenar Maesa Ayu sangat memperhatikan nilai estetisnya sehingga banyak ditemukan gaya bahasa dan bahasa kiasan. Walaupun gaya bahasa yang digunakan Djenar sedikit vulgar dan sedikit berani. Ini yang membedakan Djenar dengan penulis yang lain.
Dari ketiga cerpen yang dianalisis, dari segi gaya bahasa retoris lebih banyak pada gaya bahasa hiperbola dan Simile. Gaya bahasa hiperbola banyak ditemui dalam cerpen Lintah dan Melukis Jendela, karena dari kedua cerpen tersebut Djenar lebih berimajainasi dan banyak menggambarkan tokoh  dalam bahasa yang digunakannya yaitu bahasa kiasan. Gaya bahasa dan bahasa kiasan tersebut berfungsi memberikan efek estetis atau keindahan. Hal ini menjadikan karya Djenar menjadi lebih hidup dan berbeda dengan karya lainnya.






DAFTAR PUSTAKA
Keraf, Gorys, 2009. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Ayu, Djenar Maesa. 2002. Mereka Bilang Saya Monyet. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Suharianto, S. 1982. Dasar-dasar Teori Sastra. Surakarta: Widya Duta
Supriyanto, Teguh. 2009. Stilistika dalam Prosa. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.


Senin, 25 Maret 2013

Tugas akhir makalah analisis wacana


KOHESI GRAMATIKAL PENGACUAN PERSONA

PADA CERPEN “GADIS BUKAN PERAWAN” KARYA Jenny Ervina

A.   PENDAHULUAN
1.    Latar belakang masalah
Chaer (2007:62) Banyak pakar sependapat bahwa yang dimaksud dengan wacana adalah satuan bahasa yang lengkap sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi di atas satuan kalimat. Sehingga satuan tertinggi yang lengkap maka di dalam wacana itu terdapat konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang utuh, yang bisa dipahami tanpa keraguan apa pun.
Sebuah wacana dapat dibangun oleh sebuah kalimat, dua buah kalimat, tiga buah kalimat, atau sekian jumlah kalimat. Sebuah wacana yang besar ata cukup besar biasanya dibangun oleh paragraf-paragraf. Setiap paragraf dibangun oleh sejumlah kalimat, yang saling berkaitan, yang membentuk sebuah “pikiran pokok”, dimana terdapat sebuah kalimat pokok atau kalimat utama, ditambah oleh sejumlah kalimat penjelas.
Keutuhan wacana dibangun oleh unsur kohesi dan unsur koherensi. Unsur kohesi berkenaan dengan alat-alat kebahasaan, seperti penggunaan – penggunaan konjungsi, penggunaan pronomina persona, penggunaan elipsis, dan sebagainya. Sedangkan unsur koherensi berkenaan dengan aspek semantik, seperti penggunaan hubungan pertentangan, penggunaan hubungan generik-spesifik, penggunaan hubungan sebab-akibat, penggunaan hubungan perbandingan dan sebagainya.
Dalam tulisan ini akan dianalisis aspek penanda kohesi gramatikal khususnya aspek referensi yang lebih fokus pada pengacuan persona pada sebuah cerpen karya Jenny Ervina yang berjudul Gadis Bukan Perawan. Cerpen ini termasuk didalam kumpulan cerpen pertama Jenny, dan dijadikan sebagai judul bukunya tahun 2010.
Alasan secara umum dipilihnya cerpen sebagai objek kajian adalah bentuk cerpen yang ringkas namun tetap menuntut tingkat kohesi dan koherensi yang tinggi agar tetap berupa satu wacana utuh. Sedangkan alasan secara khusus dipilihnya cerpen berjudul Gadis Bukan Perawan karena Cerpen ini menceritakan sebagian warna kelabu tenaga kerja Indonesia yang bekerja diluar Negeri, terutama tenaga kerja wanita. Menurut saya sangat menarik Gadis Bukan Perawan merupakan jerit tangis perempuan Indonesia, yang bekerja sebagai buruh migran di Taiwan. Bahkan sudah rahasia umum, terjadi hampir pada setiap buruh migran perempuan Indonesia di seluruh dunia. Mereka membanting tulang mancari nafkah untuk mengubah kehidupan keluarga. Namun, nasib getir menimpa mereka, diperkosa, dihina, disiksa, bahkan dikhianati suami tercinta. Kenyataan hidup para buruh berusaha diungkap oleh Jenny Ervina, sebagai penulisnya sekaligus bagian dari tenaga kerja wanita Indonesia di Taiwan yang mengalami nasib baik, hingga akhirnya dia bisa menulis cerpen-cerpennya.
Selanjutnya, analisis teks dalam penelitian ini akan menggunakan seluruh kalimat yang ada pada cerpen tersebut. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan hasil analisis yang lebih nyata karena masalah kohesi dan konteks situasi menyangkut masalah ketergantungan unsur-unsur dalam wacana cerpen tersebut.

2.    Perumusan Masalah
Adapun rumusan permasalahan yang diangkat sebagai berikut:
1)    Bagaimanakah bentuk kohesi gramatikal pengacuan endofora dalam cerpen Gadis Bukan Perawan yang bersifat anafora?
2)    Bagaimanakah bentuk kohesi gramatikal pengacuan endofora dalam cerpen Gadis Bukan Perawan yang bersifat katafora?

3.    Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1)    Mendeskripsikan kepaduan wacana yang didukung oleh aspek kohesi gramatikal pengacuan endofora dalam cerpen Gadis Bukan Perawan yang bersifat anafora.
2)    Mendeskripsikan kepaduan wacana yang didukung oleh aspek kohesi gramatikal pengacuan endofora dalam cerpen Gadis Bukan Perawan yang bersifat katafora.

4.    Manfaat Penelitian
Diharapkan hasil penelitian  ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1)    Menambah wawasan dalam mengkaji kepaduan suatu wacana dari aspek gramatikal yang mendukungnya.
2)    Memberikan masukan bagi mereka yang tertarik dengan masalah analisis wacana dan Sebagai bahan referensi dan sumber informasi untuk penelitian sejenis.

B.   LANDASAN TEORI
a.  Hakikat Wacana
1.    Pengertian Wacana
Odein (2004:104) Wacana merupakan satuan linguistik yang terdiri atas rangkaian ujaran (kalimat) yang saling berhubungan dan mengungkapkan satu pokok pikiran tertentu. Wacana merupakan satuan linguistik terbesar dan paling lengkap. Alwi (1998:421) konteks wacana dibentuk oleh berbagai unsur, yaitu situasi, pembicara, pendengar, waktu , tempat , adegan, topik, peristiwa, bentuk amanat,  kode, saluran.

2.    Pengertian Cerpen
Edgar Allan Poe (Jassin 1961:72 dalam Nurgiantoro 2004:10) yang mengatakan bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam satu hal yang tak mungkin dilakukan bagi sebuah novel. Disebabkan oleh panjangnya maka kemungkinan besar pembaca dapat menyelesaikan pembacaannya dalam waktu yang relative singkat.
Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian cerpen adalah suatu cerita yang relatif pendek, singkat, jika dikaitkan dengan genre cerita hanya memiliki efek tunggal, dan bisa dibaca dalam sekali duduk.

3.    Pengertian Kohesi Gramatikal
Chapman (1973:45) dalam Nurgiantoro 2004:293) unsur gramatikal yang dimaksud menyaran pada pengertian struktur kalmiat. Dalam kegiatan komunikasi bahasa, juga jika dilihat dari kepentingan stile, kalimat lebih penting dan bermakna daripada sekedar kata walau kegayaan kalimat dalam banyak hal juga dipengaruhi oleh pilihan katanya. Sebuah gagasan, pesan (baca:struktur batin), dapat diungkapkan ke dalam berbagai bentuk kalimat (baca:struktur lahir) yang berbeda-beda struktur dan kosa katanya. Dalam kalimat, kata-kata berhubungan dan berurutan secara linier yang kemudian dikenal dengan sebutan sintagmatik. Hubungan tersebut dapat di lihat dalam bentuk realisasi grafologis kalimat dalam bentuk baris-baris seperti pada halaman buku. Untuk menjadi sebuah kalimat, hubungan sintagmatik kata-kata tersebut harus gramatikal, sesuai dengan sistem kaidah yang berlaku dalam bahasa yang bersangkutan. Secara teoritis jumlah kata yang berhubungan secara sintagmatik dalam sebuah kalimat tak terbatas, dapat dapat berapa saja sehingga mungkin panjang sekali. Secara formal, memang, tak ada batas berapa jumlah kata yang seharusnya dalam sebua kalimat.
Halliday dan Hasan (1976) membagi alat kohesi gramatikal menjadi empat macam, yaitu: (1) pengacuan (referensi), (2) penyulihan (subtitusi), (3) pelesapan (elipsis), dan (4) konjungsi.
Pada referensi endofora dapat dipilah lagi menjadi dua jenis: yaitu (1) referensi endofora anafora, merupakan hubungan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya dalam teks. Hubungan ini menunjukkan sesuatu atau antesenden yang telah disebutkan sebelumnya (acu kiri). (2) referensi endofora katafora, bersifat sebaliknya, yaitu mengacu kepada antesenden yang akan disebutkan sesudahnya (acu kanan).


C.   METODE PENELITIAN
1.    Jenis Penelitian
Penelitian ini mengkaji tentang kepaduan wacana yang ditinjau dari aspek gramatikal yang melatar belakangi wacana cerita pendek. Berdasarkan hal tersebut, maka jenis penlitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif.
Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2005:4), penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriftif yang berupa kata-kata atau lisan objek yang diamati. Tahap penyediaan data dilakukan untuk mendapatkan fenomena lingual khusus yang mengandung keterkaitan dengan rumusan masalah. Penyediaan data dilakukan untuk kepentingan analisis. Selain itu, dilakukan juga pendekatan penulisan dengan interpretasi data. Pendekatan tersebut digunakan dalam menganalisis penanda kohesi gramatikal pengacuan endofora dalam cerpen Gadis Bukan Perawan karya dari Jenny Ervina.

2.    Data
Chaer (2007:64) data dalam kajian wacana adalah wacana itu sendiri, baik wacana yang panjang maupun wacana yang pendek, baik wacana secara keseluruhan (satu karangan) maupun hanya sebagian (beberapa paragraf). Dari bahan itulah, diharapkan objek penelitian dapat dijelaskan. Karena di dalamnya terdapat objek penelitian yang dimaksud. Dalam makalah ini akan disajikan data-data berupa penggalan kata-kata, kalimat atau paragraf untuk diidentifikasi unsur-unsur penanda kohesi gramatiakal pengacuan, baik yang bersifat anafora dan yang bersifat katafora.
Dalam malakah ini data-data yang disajikan berupa kutipan-kutipan, kalimat, dan paragraf untuk mengidentifikasi unsur – unsur yang membangun karya sastra cerpen.

3.    Sumber Data
Seluruh data diperoleh dari naskah cerpen berjudul Gadis Bukan Perawan  karya Jenny Ervina, yang diperoleh dari Kumpulan Cerpen Gadis Bukan Perawan tahun 2010. Cerpen ini diterbitkan oleh Gong Publishing.

D.   Hasil Penelitian dan Pembahasan
1.    Hasil Penelitian
Sesuai rumusan permasalahan yang dijabarkan dimuka, pada pengacuan endofora (pengacuan persona) dalam cerpen Gadis Bukan Perawan direalisasikan melalui pronomina persona disebut juga kata ganti, sebenarnya tidak mengganti, tetapi mengacu ke maujud tertentu yang terdapat dalm peristiwa pertuturan. Pengacuan itu dapat bersifat di luar bahasa ataupun di dala bahasa. Pronomina dapat dibagi atas pronomina persona  (antara lain, saya, kamu, dan mereka). Pronomina penunjuk (antara lain: ini, itu, sana, sini), dan pronomina penanya (antara lain: apa, siapa, dan mengapa). Yang dibicarakan berikut ini hanyalah pronomina persona.
Pronomina aku, - ku, ku-, dan saya mengacu ke persona pertama yang tunggal. Bentuk aku, -ku, dan ku- digunakan jika pembicara akrab dengan kawan bicaranya. Pronomina kami mengacu ke persona pertama yang jamak. Pronomina kita mengacu ke persona pertama dan kedua sekaligus, karena itu, acuannya jamak. Pronomina kamu, -mu, engkau, kau- mengacu ke persona kedua. Bentuk itu dipakai jika tidak hambatan psikologis pada pembicara. Pronomina (d)ia , -nya, beliau, dan mereka mengacu ke persona ketiga. Kata (d)ia digunakan jika acuannya tunggal. Bentuk –nya dapat mengacu ke persona ketiga tunggal jamak. Pusat bahasa (2008:104-106)
Pada cerpen Gadis Bukan Perawan, pengacuan persona endofora didominasi oleh pengacuan endofora yang bersifat anafora, dengan jumlah 27 pronomina persona baik berupa kalimat dan paragraf. Dan pengacuan endofora yang bersifat katafora sejumlah 14 pronomina baik kalimat dan paragraf.
a.    Bentuk kohesi gramatikal pengacuan endofora yang bersifat anafora.
Pengacuan endofora yang sifatnya anafora yaitu apabila satuan lingual mengacu kepada satuan lingual lain yang mendahuluinya.
Berikut ini contoh hasil analisis pengacuan persona berupa endofora yang bersifat anafora dalam cerpen Gadis Bukan Perawan :
1)    “Gadis cantik pakai gaun itu, Kak Bayu suka ngeliatnya”. (hal.18)
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (Gadis), karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan.  Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

2)        “Tuhan… inikah wujud kasih sayang-Mu padaku?”. Gadis terkulai  dibangku halte. (hal. 21)
Bentuk (-Mu) termasuk persona II. Pemakaian (–Mu) mengacu pada (Tuhan), karena (Tuhan) adalah orang yang diajak bicara. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

3)    “Kak Bayu bantu lepaskan mahkotanya, ya?” tanya sang lelaki seraya mengeserkan tempat duduknya lebih dekat dengan Gadis. (hal. 18-19)
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (kak bayu), karena (kak bayu) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

4)    Detak jantung keduanya semakin bertambah kencang. (hal. 19)
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (detak jantung), karena (detak jantung) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

5)    “Ini… karena Kak Bayu sayang sama Gadis.” Bisiknya menggoda. (hal.19)
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (Gadis).  Karena (Gadis) adalah orang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

6)    Untuk kemudian mencoba memberanikan diri menatap lekat pujaan hatinya. (hal. 19)
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (pujaan hati), karena (pujaan hati) adalah yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

7)    Untuk kesekian kalinya Gadis menunduk. Ia seperti ragu melanjutkan ibadah maha sempurna itu. Air mukanya tiba-tiba berubah. Ada sedikit duka menghiasi sudut matanya. (hal.19).
Bentuk (-nya) dan (-ia) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) dan (-ia) mengacu pada (Gadis), karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

8)    Bahkan sempat menggenang dikelopak mata Gadis sebelum Bayu akhirnya membantu menyeka airmatanya. (hal.19)
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (Gadis) , karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

9)    “Gadis lelah. Besok aja ya, Kak…”, katanya terbata-bata. Takut mengecewakan orang yang sedang menantinya. (hal.19)
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada   (Gadis), karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

10) Bayu tersenyum. Lega. Meski sebenarnya Ia ingin melangkah lebih jauh lagi melangkah. (hal.19)
Bentuk (-ia) termasuk persona III. Pemakaian (-ia) mengacu pada (Bayu), karena (Bayu) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

11) Dengan sangat hati-hati Gadis melangkahkan kakinya di rerumputan yang baru dipangkasnya pagi tadi. (hal. 20)
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada   (Gadis), karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

12) Gadis yang bekerja menjaga seorang Ama setahun yang lalu disebuah keluarga, tak henti-hentinya merasakan penderitaan yang datang silih berganti. Perlakuan kasar yang didapatnya dari kedua majikan (hal. 20)
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (Gadis), karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

13)  Air mata Gadis tak henti mengalir disepanjang jalanan lembab yang Ia lalui. … Ia rindu pulang. Ia rindu keluarga. Tapi, Ia juga ingat janji yang Ia ucapkan sebelum Ia pergi kepada emaknya. (hal. 20)
Bentuk (-nya) dan (-ia) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) dan (-ia) mengacu pada (Gadis), karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

14)  Gadis berjalan lunglai menyusuri gigir trotoar. Tas lusuh berisi dua helai baju, Ia dekap erat-erat. Decak-decak ketakutan jelas membekas disetiap langkahnya. (hal. 20)
Bentuk (-nya) dan (-ia) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) dan (-ia) mengacu pada (Gadis), karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

15) Gadis tergugu disebuah halte. Menunggu sesuatu yang tidak Ia ketahui. Lapar yang menyeranya sejak siang tadi sudah tidak ia hiraukan. Ia sudah terlalu lelah, sehingga membuatnya lupa. (hal. 20-21)
Bentuk (-nya) dan (-ia) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) dan (-ia) mengacu pada (Gadis), karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

16) Seketika Gadis tergugu, menangisi nasib yang sedang mempermainkan kepolosannya. Berkali-kali Ia panggil nama Emaknya. Berkali-kali Ia menyebut Tuhan disela isak tangisnya. Tapi nyatanya saat ini Ia sendiri. (hal. 21)
Bentuk (-nya) dan (-ia) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) dan (-ia) mengacu pada (Gadis), karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

17) Menampakkan sesosok lelaki penuh wibawa dengan mata sipit yang tersembunyi dibalik kaca mata tebalnya. Perutnya sedikit tambun. Rambutnya klimis tersisir rapi ala tahun 80-an. (hal. 21)
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (Lelaki), karena (lelaki) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

18) Sementara Gadis masih terdiam. Hanya sisa-sisa tangis yang menandakan Ia masih berada dalam batas alam kesadaran. (hal. 22)
Bentuk (-Ia) termasuk persona III. Pemakaian (–Ia) mengacu pada (Gadis), karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

19) Bayu muncul dari baliknya. Seketika Ia terpana melihat pemandangan yang sedang Ia saksikan. (hal. 23)
Bentuk (-Ia) termasuk persona III. Pemakaian (–Ia) mengacu pada (Bayu), karena (Bayu) adalah orang yang dibicarakan.
Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

20) “Ah, andai waktu itu Kakak yang menolong Gadis …”, Ia pun lalu mendesah. (hal. 24)
Bentuk (-Ia) termasuk persona III. Pemakaian (–Ia) mengacu pada (Gadis), karena (Gadia) adalah orang yang dibicarakan.
Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

21) “Semoga Allah melindungi Kakak dari apa yang sudah Kakak ucapkan. Kakak terima Gadis apa adanya”. Lembut Ia satukan jemari Gadis diantara jemarinya. (hal. 24)
Bentuk (-Ia) dan (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–Ia)dan (-nya) mengacu pada (Kakak), karena (Kakak) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

22) Bayu seketika terpaku. Jemarinya perlahan terlepas dari genggaman Gadis. Ia seperti mendapat mimpi buruk ditengah keterjagaannya. … (hal. 25)
Bentuk (-Ia) dan (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–Ia) dan (-nya) mengacu pada (Bayu), karena (Bayu) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

23) “Gadis sudah siap”, katanya lirih. (hal. 25)
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (Gadis), karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)


24) “Maaf Gadis. Kakak lelah…”, datar sekali bicaranya. (hal. 25)
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (Gadis), karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

25) Mulut Bayu seolah kaku. Sehingga untuk mengucapkan satu patah katapun rasanya sulit. Apa yang barusan didengarnya dari mulu Gadis telah membawa Ia ke dalam batas ketaksadaran. … (hal. 25)
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (Bayu), karena (Bayu) adalah orang yang dibicarakan.
Bentuk (-Ia) termasuk persona III. Pemakaian (–Ia) mengacu pada (Bayu), karena (Bayu) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

26) Mmm...., Nona sudah bangun rupanya?” dengan santai lelaki itu duduk di samping Gadis. Lalu memberikan beberapa bungkusan berisi makanan. Saya dimana?” tanya Gadis ketakutan. “Kamu dirumah Saya. Tadi malam Saya menemukan Kamu pingsan dibangku halte.” Jelasnya seraya membenarkan posisi kacamata. (hal. 21 - 22)
Bentuk (Kamu) termasuk persona II. Pemakaian (Kamu) mengacu pada (Gadis), karena (Gadis) adalah orang yang diajak bicara.
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (-nya) mengacu pada (Lelaki), karena (Lelaki) adalah orang yang dibicarakan.
Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

27) “Tuhan… inikah yang Engkau rencanakan untukku?” batin Gadis. (hal. 22)
Bentuk (Engkau) termasuk persona II. Pemakaian (Engkau) mengacu pada (Tuhan), karena (Tuhan) adalah orang yang diajak bicara. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

28) “Seandainya suatu malam Kakak bertemu dengan sesorang wanita yang sedang membutuhkan pertolongan. Sendiri terlunta-lunta kelaparan,. Apa yang Kakak lakukan?”seruis sekali nada Gadis. “Ya… Kakak kasih dia makan lalu antarkan dia pulang.” Jawab Bayu sembarangan. (hal. 24)
Bentuk (Dia) termasuk persona III. Pemakaian (Dia) mengacu pada (seorang wanita), karena (seorang wanita) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

a.         Bentuk kohesi gramatikal pengacuan endofora yang bersifat katafora.
Pengacuan berikutnya adalah pengacuan endofora yang bersifat katafora. Endofora yang bersifat katafora mayoritas unsur acuannya berada pada satu kalimat yang sama dengan unsur kohesinya. Berdasarkan analisis pada data diatas, yakni contoh pengacuan endofora yang bersifat anafora, dapat disimpulkan bahwa pengacuan persona endofora yang bersifat katafora pun didominasi oleh bentuk pronominal persona bentuk kata ganti orang pertama. Berikut ini contoh pengacuan persona berupa endofora  yang bersifat katafora pada cerpen Gadis Bukan Perawan.
1)  “Tuhan… inikah wujud kasih sayang-Mu padaku?”. Gadis terkulai dibangku halte. (hal. 21)
Gadis telah membawa Ia kea lam batas kesadaran. … (hal. 25
Bentuk (Ku) termasuk persona I. Pemakaian (Ku) mengacu pada (Gadis), karena (Gadia) adalah pembicara / berbicara pada diri sendiri. Memiliki persona endofora yang bersifat katafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang disebutkan sesudahnya)


2)  Saya lapar…”, rintih Gadis ketika perlahan membuka mata. (hal. 21)
Bentuk (Saya) termasuk persona I. Pemakaian (Saya) mengacu pada (Gadis), karena (Gadis) adalah pembicara/ berbicara pada diri sendiri. Memiliki persona endofora yang bersifat katafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang disebutkan sesudahnya)

3)  “Mmm…, Nona sudah bangun rupanya?” dengan santai lelaki itu duduk disamping Gadis. (hal. 22)
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (Gadis), karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat katafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang disebutkan sesudahnya)

4)  Kamu aman disini.” Lelaki tambun itu benar-benar menangkap apa yang Gadis khawatirkan. (hal. 22)
Bentuk (Kamu) termasuk persona II. Pemakaian (Kamu) mengacu pada (Gadis), karena (Gadis) adalah orang yang di ajak bicara. Memiliki persona endofora yang bersifat katafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang disebutkan sesudahnya)

5)  “Tuhan… inikah yang Engkau rencanakan untukku?” batin Gadis. (hal. 22)

Bentuk (-Ku) termasuk persona I. Pemakaian (-Ku) mengacu pada (Gadis), karena (Gadis) adalah pembicara/ berbicara pada diri sendiri. Memiliki persona endofora yang bersifat katafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang disebutkan sesudahnya)

6)  “Sekarang Kamu makan. Lalu bersihkan badan. Saya sudah belikan baju untuk Kamu pakai.” Sesaat setelah menyelesaikan kalimatnya Ia pun berlalu  meninggalkan Gadis yang masih duduk membisu dibalut kebingungan. (hal. 22)
Bentuk (Kamu) termasuk persona II. Pemakaian (Kamu) mengacu pada (Gadis), karena (Gadis) adalah orang yang diajak bicara. Memiliki persona endofora yang bersifat katafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang disebutkan sesudahnya)

7)  Saya dimana?” tanya Gadis ketakutan.
Bentuk (Saya) termasuk persona I. Pemakaian (Saya) mengacu pada (Gadis), karena (Gadis) adalah pembicara / berbicara pada diri sendiri. Memiliki persona endofora yang bersifat katafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang disebutkan sesudahnya)


Pada pengacuan endofora yang bersifat katafora, jelas terlihat pada contoh diatas, bahwa pengacuan endofora sifat katafora banyak terselip dalam kalimat dialog. Penulis menekankan karakter-karakter tokohnya pada penggalan dialog antar tokoh. Selain itu, pada setiap dialog disebutkan siapa yang menuturkan dialog tersebut, sehingga aspek pengacuan persona dapat ditemukan hampir seluruh kalimat data dalam wacana.

2.    Pembahasan
Penggunaan aspek gramatikal menjadi dominasi dalam wacana cerpen Gadis Bukan Perawan, hal ini memiliki beberapa latar belakang yang beralasan. Pertama, cerpen ini merupakan sebuah wacana naratif yang memiliki ruang lingkup kecil, dengan pengungkapan alur cerita yang didominasi oleh pengunaan dialog-dialog singkat. Dan dengan tokoh atau karakter yang sama dari awal hingga akhir cerita. sehingga untuk menghindari penyebutan kembali nama karakter yang sama secara berulang, penulis cerpen lebih banyak menggunakan pronominal persona atau panggilan karakter tokoh secara umum.
Selain itu, dalam setiap dialog disebutkan siapa yang menuturkan dialog tersebut, sehingga aspek pengacuan persona dapat ditemukan dihampir seluruh kalimat data dalam wacana. Secara khusus alasan penggunaan aspek pengacuan yang mendominasi ini adalah sebagai upaya pengarang untuk memperkenalkan karakter dari tokoh-tokoh ceritanya. Hal ini dilakukan dengan cara menyebutkan nomina atau frasa nomina tertentu yang merujuk pada karakter cerita secara berulang-ulang. Penyebutan nomina dan frasa nomina sebagai unsur acuan ini hampir selalu diikuti oleh penggunaan pronomina persona yang merupakan unsur kohesinya.
Berdasarkan hasil analisis pada wacana cerpen Gadis Bukan Perawan dapat disimpulkan bahwa pengarang memberikan kemudahan bagi pembaca untuk menginterpretasikan makna cerita dan karakter tokoh, karena dalam cerpen ini pengarang sudah banyak berkomentar dan mendeskripsikan dengan jelas situasi cerita melalui penyebutan beberapa nomina secara berulang-ulang. Selain itu, adanya beberapa dialog berfungsi untuk memberikan penguatan atau mempertegas karakter tokoh pada rangkaian paragraf deskripsi.
Banyaknya pengacuan endofora bersifat anafora yang mendominasi aspek pengacuan dalam wacana cerpen Gadis Bukan Perawan, dapat dipahami karena beberapa alasan. Pertama wacana ini berupa cerpen yang tersusun atas kalimat-kalimat deskriptif yang saling berhubungan dan memiliki keterkaitan satu sama lainnya membentuk paragraf-paragraf. Dengan beberapa tokoh atau karakter yang relatif sama dari awal hingga akhir cerita, membuat penyebutan para karakter (setelah penyebutan nama karakter), penulis lebih banyak menggunakan pronomina persona. Akan tetapi, terkadang penulis juga menggunakan panggilan lain sebagai pronominal persona seperti, Kakak, Ade, Lelaki dan Perempuan.
Yang kedua, semua pengacuan persona berupa dalam cerpen Gadis Bukan Perawan merupakan pengacuan yang bersifat endofora anafora, yakni unsusr acuan atau antesendennya berada disebelah kiri atau telah disebutkan sebelumnya. Kemudian, untuk dialog-dialog yang mengisi setiap paragraf pada cerpen ini berperan sebagai penguatan atas karakter tokoh yang dideskripsikan pada paragraf  sebelunya. Pada dialog-dialog ini pengacuan persona endofora yang bersifat katafora lah yang mendominasi. Maksudnya untuk memperjelas siapa yang berdialog dalam teks tersebut, sehingga dapat terlihat karakter-karakter tokoh melalui dialog yang diujarkannya.











E.   Penutup

Berdasarkan penjelasan hasil analisis data maka dapat disimpulkan bahwa dalam wacana cerpen Gadis Bukan Perawan ditemukan dua aspek kohesi gramatikal berupa pengacuan, yaitu pengacuan persona endofora yang bersifat anafora dan katafora. Jumlah total pengacuan persona 130, berupa anafora dan katafora. Kemudian mengenai wacana cerpen, bahwa untuk memahami sebuah wacana tidak terlepas dari keterkaitan antara teks dan konteks. Analisis wacana ini membuktikan teks dan konteks adalah dua hal tidak dapat terpisahkan dalam sebuah wacana. Hal ini membuktikan pendapat dari Halliday dan Hasan (1992: 66) yang menyatakan bahwa setiap bagian teks sekaligus merupakan teks dan konteks, dalam memusatkan perhatian pada bahasa kita harus sadar akan adanya kedua fungsi itu.










DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2007. Kajian Bahasa : Sturktur internal, pemaknaan, dan pemelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Odien R dan Suherlan. 2004. Ikhwal Ilmu Bahasa dan Cakupannya. Serang: Untirta Press
Moloeng, Lexy J. 2005. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya
Halliday, M.A.K & Hasan. 1992. Bahasa, Konteks, dan Teks: Aspek-aspek bahasa dalam pandangan semiotik sosial. Terjemahan  (1992). Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press.
Halliday, M.A.K & Hasan. 1976. Cohesion in English. London: Longman House.

Pusat Bahasa. 2008. Buku Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Nurgiantoro, Burhan. 2012. Teori Pengkaji Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada Uneversity Pres
Hasan, Alwi. 1998. Tata bahasa Baku Bahasa Indonesia  Edisi 3. Jakarta: Balai Pustaka
Ervina, Jenny. 2010. Gadis Bukan Perawan. Serang: Gong Publishing