Kajian Stilistika Dalam Kumpulan Cerpen Mereka Bilang Saya Monyet (Mereka
Bilang Saya Monyet, Lintah dan Melukis Jendela)
Karya Djenar Maesa Ayu
LATAR
BELAKANG MASALAH
Trend sastra perempuan yang kian “bertelanjang” mengguncang dunia kepenulisan kreatif (terutama penulisan prosa cerpen dan novel) dan sekaligus jadi penanda muncul suatu genre
sastra baru yang lebih “berani” dan “terbuka” membuat “merangsang” minat dan apresiasi sastra pada umumnya. Ketelanjangan yang nyaris
jadi mencolok Oleh karenanya sebagian pengamat
sastra yang agak sentimentil justru memplesetkan estetika (cara ucap) baru
tersebut menjadi estetika “saru” (jorok) karena tanpa malu-malu menggumbar
kata-kata yang dulu dianggap tabu menjadi kata-kata yang biasa saja. Seperti
halnya Djenar yang mengangkat tema yang berbau-bau seks dan dalam pemilihan
kata (diksi) dan gaya bahasa yang
digunakan bisa dibilang tinggi, dalam pemilihan kata djenar lebih berani dalam
menggunakan simbol-simbol dalam cerpennya.
Dalam buku ini Djenar menulis 11 cerpen (9 diantaranya
udah dimuat di media cetak nasional) dengan judul yang menarik pembacanya
antara lain: Mereka Bilang, Saya Monyet!, Lintah, Durian, Melukis
Jendela, SMS, Menepis Harapan, Waktu Nayla, Wong Asu, Namanya…, Asmoro, dan
Manusya dan Dia. Kebanyakan dari 11 tema cerpen yang tertera, Djenar
lebih banyak bercerita tentang hal ikhwal anak-anak remaja (sangat remaja) yang
tidak bahagia dalam keluarga karena tak ada perhatian dari orang tuanya. Temanya, tentang kemunafikan, atau berkisar tentang pelecehan seksual oleh
orang tua dalam keluarga dan lingkungan sekaligus Djenar
mengekspos bagaimana respon atau pun akses dari si korban
pelecehan. Namun saya
mengambil tiga judul cerpen untuk dikaji
dengan menggunakann kajian stilistika yaitu diantaranya: Mereka Bilang Saya Monyet,
Lintah, Melukis Jendela.
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Cerpen
Cerita pendek atau cerpen merupakan salah satu karya sastra yang habis
dibaca sekali duduk. Menurut Soeharianto (1982: 39), cerpen adalah wadah yang
biasanya dipakai oleh pengarang untuk menyuguhkan sebagian kecil saja dari
kehidupan tokoh yang paling menarik perhatian pengarang.
Menurut Soeharianto (1982) cerita
pendek bukan ditentukan oleh banyaknya halaman untuk mewujudkan cerita tersebut
atau sedikit tokoh yang terdapat di dalam cerita itu, melainkan lebih
disebabkan oleh ruang lingkup permasalahan yang ingin disampaikan oleh bentuk karya
sastra itu. Jadi jenis cerita yang pendek belum tentu dapat digolongkan menjadi
cerita pendek, jika ruang lingkup permasalahannya tidak memenuhi persyaratan
sebagai cerpen.
Media yang digunakan oleh cerpen untuk menyampaikan pikiran pengarang
adalah bahasa. Bahasa dalam karya sastra merupakan lambang yang mempunyai arti
yang ditentukan oleh perjanjian atau konvensi dari masyarakat. Bahasa yang
digunakan di dalam karya sastra cenderung menyimpang dari kaidah kebahasaan,
bahkan menggunakan bahasa yang dianggap aneh atau khas. Penyimpangan penggunaan
bahasa dalam karya sastra, menurut Riffaterre (dalam Supriyanto, 2009: 2)
disebabkan oleh tiga hal yaitu displacing of meaning (penggantian arti), dan
creating of meaning (perusakan atau penyimpangan arti), dan creating of meaning
(penciptaan arti).
Oleh karena banyak penyimpangan arti di dalam karya sastra, maka pengamatan
atau pengkajian terhadap karya sastra (cerpen) khususnya dilihat dari gaya
bahasanya sering dilakukan. Pengamatan terhadap karya sastra (cerpen) melalui
pendekatan struktur untuk menghubungkan suatu tulisan dengan pengalaman
bahasanya disebut sebagai analisis stilistika.
Salah satu cerpen yang sangat menarik untuk dikaji menggunakan analisis
stilistika adalah cerpen Mereka Bilang Saya Monyet karya Djenar Maesa Ayu.
Cerpen ini menarik untuk dikaji karena mengandung banyak majas (gaya bahasa)
dan bahasa kiasan.
Stilistika
1.
Pengertian gaya bahasa
Keraf (2009:112) Gaya atau khusunya gaya bahasa dikenal dalam
retorika dengan istilah style. Kata style diturunkan dari kata Latin stilus,
yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Keahlian menggunakan
alat ini akan mempengaruhi jelas tidaknya tulisan pada lempengan tadi. Kelak
pada waktu penekanan dititk beratkan pada keahlian untuk menulis indah, maka
style lalu berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis dan
mempergunakan kata-kata secara indah.
Karena
perkembangan itu, gaya bahasa atau style
menjadi masalah atau bagian dari diksi atau
pilihan kata yang mempersoalkan cock tidaknya pemakaian kata, frasa atau kalusa
tertentu untuk menghadapi situasi tertentu. Sebab itu, persoalan gaya bahasa
meliputi semua hirarki kebahasaan: pilihan kata secara indvidual, frasa,
klausa, dan kalimat, bahkan mencakup pula sebuah wacana secara keseluruhan.
Malahan nada yang tersirat di balik sebuah wacana termasuk pula persoalan gaya
bahasa. Jadi jangkauan gaya bahasa sebenarnya sangat luas, tidak hanya mencakup
unsur-unsur kalimat yang mengandung corak-corak tertentu, seperti yang umum
terdapat dalam retorika-retorika klasik.
Walaupun kata style berasal dari bahasa latin, orang
yunani sudah mengembangkan sendiri teori-teori mengenai style itu. Ada dua aliran yang terkenal, yaitu:
a)
Aliran
Platonik: menganggap style sebagai
kualitas suatu ungkapan; menurut mereka ada ungkapan yang memiliki style, ada juga yang tidak memiliki style.
b)
Aliran
Aristoteles: menganggapan bahwa gaya adalah suatu kualitas yang inheren, yang
ada dalam tiap ungkapan.
Dengan demikian, aliran Plato
mengatakan bahwa ada karya yang memiliki gaya dan ada karya yang sama sekali
tidak memilki gaya. Sebaliknya, aliran Aristoteles mengatakan bahwa semua karya
memilki gaya, tetapi ada karya yang memilki gaya yang tinggi ada yang rendah,
ada karya yang memiliki gaya yang kuat ada yang lemah, ada yang memilki gaya
yang baik ada yang memilki gaya yang jelek.
Bila kita
melihat gaya secara umum, kita dapat
mengatakan bahwa gaya adalah cara
mengungkapkan diri sendiri, entah melalui bahasa, tingkah laku, berpakaian,
dan sebagainya. Dengan menerima pengertian ini, maka kita dapat mengatakan,
“Cara berpakaiannya menarik perhatian orang banyak”, “Cara penulisannya lain
daripada kebanaykan orang”, “ Cara jalannya lain dari yang lain”, yang memang
sama artinya dengan “gaya berpakaian “ , “gaya menulis “ dan “gaya berjalan”.
Dilihat dari segi bahasa, gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa. Gaya
bahasa memungkinkan kita dapat menilai pribadi, watak, dan kemampuan sesorang
yang mempergunakan bahasa itu. Semakin banyak gaya bahasanya, semakin baik pula
penilaian orang terhadapnya: semakin buruk gaya bahasa sesorang, semakin buruk
pula penilaian diberikan padanya.
Akhirnya style
atau gaya bahasa dapat dibatasi sebagai cara
mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperhatikan jiwa dan
kepribadian penulis (pemakai bahasa). Seperti halnya dengan djenar dalam kumpulan cerpennya yang berjudul
Mereka Bilang Saya monyet, dalam gaya penulisannya djenar
lebih berani, dan bahasa ynag digunakannya pun tinggi sehingga kita
sebagai pembaca akan mengalami kesulitan dalam memahami cerita yang ditulisnya
dan langkah baiknya kita membaca dengan berulang-ulang.
PEMBAHASAN
Dari kumpulan cerpen mereka bilang saya monyet karya Djenar Maesa
Ayu, saya mengambil tiga macam cerpen untuk dijadikan bahan kajian stilistika,
yaitu diantaranya Mereka bilang, Saya Monyet, Lintah, Melukir Jendela.
Dari ketiga cerpen tersebut menurut saya
cocok apabila dikaji menggunkan kajian stilistika yang melihat Djenar dalam
menulis ketiga cerpen tersebut menggunakan simbol-simbol atau perumpamaan yang
dijadikan senjata untuk menarik pembaca, maka untuk lebih dalam saya akan
mengaji kedua cerpen tersebut dengan melihat dari sisi penulis dalam pemilihan
kata (diksi) dan begitu pun dari segi gaya bahasa yang digunakannya.dari diksi
(pilihan kata) dan gaya bahasa yang mana
Banyak dari cerpen Djenar Maesa Ayu dalam kumpulan Mereka bilang
saya Monyet! Ini berkisar atau berlatar belakang ikhwal anak-anak masih sangat
remaja yang tidak berbahagia dalam keluarga, karena kurang perhatian dan kasih
sayang dari orangtua, atau karena ibu atau ayah yang lebih mementingkan serta
asyik dengan diri sendiri, atau karena telah kehilangan orang tua di masa yang
sangat muda, berikut pelecehan seksual terhadap sang anak oleh orang dekat
dalam keluarga atau oleh lingkungannya (teman sekolah), sekaligus mendedahkan
respon atau akibatnya bagi para korban.
Dunia anak-anak adalah dunia
yang kaya dengan imajinasi. Maka adalah wajar dalam menghadapi penindasan dari
ibunya dan sang pacar sang ibu, sang anak dalam cerpen “Lintah” langsung
melebih-lebihkan ikhwal, “Ibu saya memelihara seekor lintah “ dan seterusnya ia
mendongeng tentang kecintaan sang ibu kepada lintah lebih dari pada diri sang
anak, tentang lintah yang bisa membesar menjadi ular atau membelah dirinya
menjadi banyak ular, tentang hubungan intim antara lintah itu dengan ibunya,
tentang lintah yang itu menggerayangi tubuhnya diam-diam dan memperkosanya. Dan
bahkan akhirnya lebih dari itu, sang ibu mengandung karena lintah dan berniat
mengawininya hewan tersebut.
Dalam cerpen “Lintah” imajinasi
berperan sebagai pembesaran terhadap
realitas. Dengan pembesaran ini sang anak mengharapkan simpati dari para
pendengar kisah, yang mungkin akan membebaskannya dari realitas yang pedih.
Berbeda dengan “Lintah”, dalam “Melukis Jendela” Mayra yang tak pernah melihat
ibunya dan selalu tidak mendapatkan kasih sayang ayah, berusaha meneylamatkan
diri sendiri lewat imajinasi dengan melukis ayah dan ibunnya yang dari
imajinasinya itu (lukisan ayah ibu) dia berangan-angan mendapatkan kasih sayang
orang tuanya. Gagal dengan lukisan ayah ibu, ia melukis jendela yang memberikan
kebebasan kepada dirinya. Lewat lukisan jendela itu ia bisa mendapatkan
ventilasi kebebasan perasaan dan bahkan bisa melakukan pembalasan imjinatif
teradap teman-teman sekolah yang telah melakukan pelecehan seksual terhadap
dirinya.
Lewat lukisan jendelanya itu ia bisa membayangkan atau melihat
dunia yang indah sesuai dengan hasratnya. Mayra melukis jendela, masuk dan
menemukan dirinya berada di sebuah taman indah penuh warna warni. Dua anak
kecil menghapiri dan tersenyum kepadanya. Wajah mereka mirip dengan mayra
namun lebih cantik. Pipi mereka merona
merah, kulit mereka putih bersih, baju yang mereka begitu indah dengan mahkota
bunga di kepala mereka. Mereka lebih mirip bidadari ketimbang anak manusia.
Mayra mengecup mereka dengan lembut dan menuntun mereka menuju pelangi emas
bertahtakan mutiara. Seorang lelaki sudah menunggu di sana. Merentangkan tangan
untuk memeluk mereka semua”. Akhirnya bisa dikatakan, terinsfirasi lukisan jendelanya
ia mengambil tindakan nyata membebaskan diri dari kenyataan yang menghimpitnya.
Ia meninggalkan rumah dan “Mayra tidak pernah kembali”.
Maka wajar jika penggambarannya (imajinasi) “Lintah” mendapatkan
pemebesaran (Hyperbolic) dan cenderung karikatural seperti tampak dalam mereka
bilang, saya monyet!” dimana orang-orang munafik digambarkan sebagai hewan
aneh. Bila dalam “Lintah” sang “saya”
tidak bisa melakukan perlawanan yang berarti, sang “saya” dalam cerpen ini
mungkin karena tokohnya lebih dewasa bisa melakukan perlawanan dan melepaskan
diri dari suasana munafik yang ditemuinya. “Tapi saya juga tahu, pesta
kemerdekaan saya baru akan dimulai”.
Melukis jendela jika terapi ini gagal, imajinasi terasa
menjadi lebih pahit dibanding realitas itu sendiri, sebagaimana diceritakan
mayra lebih membenci lukisan ayah ibu yang diciptakan dibanding kegetiran yang
dirasakannya dari kenyataan bahwa ia kehilangan (kasih) ibu dan kemesraan kasih
sayang ayah).
Yang unik dalam cerpen ini (MBSM), orang-orang munafik digambarkan seperti hewan aneh:
“kebutuhan saya untuk
buang air kecil semakin mendesak. Saya mnegetuk pintu kamar mandi pelan-pelan,
tidak ada jawaban tidak ada suara air dan tidak ada suara mengedan. Saya
mendengar desahan tertahan. Desahan itu berangsur diam. Saya mengintip lewat
lubang kunci bersaman dengan pintu dibuka dari dalam. Sepasang laki-laki dan
perempuan keluar dari kamar mandi Yang laki-laki lantang memaki “dasar
binatang! Dasar monyet ! Gak punya otak ngintip-ngintip orang!”. Seharusnya saya
menghjar laki-laki berkepala buaya dan berekor kalajengking itu…”. (hal.3)
Kreatif dalam pemilihan ide diksinya, realitanya terkadang binatang jauh lebih
”manusiawi” dan manusia seringkali berkelakar layaknya ”binatang”, dalam cerpen ini memberi perlawanan atas suasana kemunafikan yang ditemuinya. Menarik
membaca cerpen ini karena dengan penghayatannya. Djenar mampu menggambarkan sosok-sosok munafik yang sejatinya memang terhampar di depan mata kita.
Penelitian stilistika menaruh perhatian pada penggunaan bahasa dalam karya
sastra. Persoalan yang menjadi fokus perhatian stilistika adalah pemakaian
bahasa yang menyimpang dari bahasa sehari-hari, atau disebut bahasa khas dalam
wacana sastra. Penyimpangan penggunaan bahasa bisa berupa penyimpangan terhaap
kaidah bahasa, banyaknya pemakaian bahasa daerah, dan pemakaian bahasa asing
atau unsur-unsur asing. Penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan tersebut diduga
dilakukan untuk tujuan tertentu.
Pusat perhatian stilistika adalah penggunaan bahasa (gaya bahasa) secara
literer dan sehari-hari. Sebagai stylist, seseorang harus mampu menguasai norma
bahasa pada masa yang sama dengan bahasa yang dipakai dalam karya sastra.
Penggunaan gaya bahasa juga diarahkan oleh bentuk karya sastra yang ingin
dihasilkan. Misalnya, gaya penataan prosa fiksi (cerpen) berbeda dengan gaya
penataan bentuk puisi. Dalam cerpen, selain fokus dalam alur cerita, penulis
dapat menggunakan gaya bahasa dan bahasa kiasan agar cerpen yang
dihasilkan lebih hidup dan menarik
pembaca.
Salah satu cerpen yang sarat dengan gaya bahasa dan bahasa kiasan adalah
kumpulan cerpen Mereka bilang saya Monyet karya Djenar Maesa Ayu. Hampir semua
barisnya menggunakan kata kiasan sehingga pembaca diajak untuk menikmati
kalimat demi kalimat, bukan hanya menikmati alur ceritanya saja. Gaya bahasa
dan bahasa kiasan yang terdapat di dalam cerpen
Mereka bilang saya Monyet karya Djenar Maesa Ayu antara lain
Paralelisme, hiperbola, simile, metafora, dan personifikasi.
GAYA BAHASA BERDASARKAN LANGSUNG
TIDAKNYA MAKNA
a.Gaya Bahasa Retoris
1.
Hiperbola
Hiperbola adalah semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal. Gaya bahasa hiperbola yang antara lain:
Hiperbola adalah semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal. Gaya bahasa hiperbola yang antara lain:
“ Ular itu menyergap, melucuti pakaian saya, menjalari satu persatu lekuk
tubuh saya. Melumat tubuh saya yang belum berbulu dan bersusu, dan menari-nari
di atasnya memuntahkan liur yang setiap tetesnya berubah menjadi lintah……” (hal.17)
“Saling erat, saling mengaduh, hingga senja
tiba dan pasang ombak menghanyutkan tubuh mereka ketengah”. (hal 38)
“bayangan rambut hitam laki-laki yang tergerai
hingga dada menari-nari tertiup angin diatas kuda putih tak berpelana. (hal.
38)
“Laki-laki berkuda dengan dad bidang dan
berkulit coklat kemerah-merahan terbakar surya untuk menjemputnya”. (hal. 38)
“Mayra mengecup mereka dengan lembut dan
menuntun mereka menuju pelangi bertahtakan mutiara” (hal. 41)
“saya memperhatikan bayangan diri saya di dalam cermin dengan cermat. Saya
berkaki dua, berkepala manusia, tapi menurut mereka saya adalah seekor
binatang.” (hal. 3)
“ Dan saya sangat kaget melihat seekor ular
yang merah menyala” (hal.12)
”Ibu saya memelihara
seekor lintah “ (hal.11)
“ Darah segar meleleh dari dalam hidungnya”
(hal. 32)
“ Sepanjang hidup saya melihat manusia berkaki
empat” (hal. 1)
b. Gaya Bahasa Kiasan
Gaya bahasa kiasan ini pertama-tama dibentuk berdasarkan
perbandingan atau persamaan. Membandingkan sesuatu dengan sesuatu hal yang
lain, berarti mencoba menemukan ciri-ciri yang menunjukan kesamaan antara kedua
hal tersebut. Perbandingan sebenarnya mengandung dua pengertian, yaitu
perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa yang polos atau langsung, dan
perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa kiasan. Perbandingan dengan analogi ini kemudian
muncul dalam bermacam – macam gaya bahasa kiasan, seperti diuraiakan di bawah
ini.
Di samping gaya bahasa, Djenar Maesa Ayu juga menggunakan bahasa kiasan
untuk menekankan makna dan mempertahankan unsur estetis. Bahasa kiasan yang
terdapat pada cerpen tersebut ada beberapa bahasa kiasan di antaranya:
a. Persamaan atau simile
Persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit.
Yang dimaksud dengan perbandingan yang bersifat eksplisit ialah bahwa ia
langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Untuk itu, ia memerlukan
upaya yang secara eksplisit menunjukkan kesamaan itu, yaitu kata-kata: seperti,
sama, sebagai, bagaikan, laksana, dan sebagiannya. Gaya bahasa kiasan Simile diantaranya:
“Saya hajar mukanya seperti
apa yang saya harapkan sebelumnya” (hal.10)
“ Namun sikap duduk mereka masih sama seperti ketika pertama kali
mereka datang ke kafe ini” (hal.5)
“Ia membayangkan laki-laki itu meraba payudaranya yang mulai tumbuh seperti
yang pernah ia rasakan di kantin sekolah”. (hal. 38)
“Semuanya sunyi dan hening sama seperti ketika Mayra terjaga dari
mimpinya”. (hal. 36)”
“Beberapa menit yang lalu ia tiba di sekolah dan seperti biasa lima
anak berandalan itu mencegatnya di pintu pagar”. (hal. 39)
“Tidak seperti biasa, kamar itu tidak terkunci”. (hal. 41)
“Sebagai anak tunggal ia menghabiskan banyak waktu hanya dengan
melamun tanpa seorang pun untuk diajak bicara. (hal. 31)
“Seperti kerbau dicucuk hidungnya mereka mengikuti langkah Mayra menuju kantin”.
(hal.39)
b.
Metafora
adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung,
tetapi dalam bentuk yang singkat: bunga
bangga, buaya darat, buah hati, cindera mata, dan sebaginya. Bahasa kiasan metafora yang terdapat pada cerpen mereka bilang saya monyet
antara lain:
“Kata mereka saya adalah seekor monyet” (hal. 3)
“ Saya sudah terbiasa menelan rongsokan
tanpa dikunyah lebih dulu”. (hal.4)
“Dengkurannya sangat menggangu dan bau tidak sedap menyergap seisi ruangan
itu” (hal. 13)
“Lintah akan kembali berubah menjadi ular-ular kecil dan menari gembira”
(hal.13)
“Ular itu lalu berangsur-angsur mengecil” (hal.13)
c. Personifikasi atau prosopopoeia
Personifikasi
atau prosopopoeia adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan
benda-benda mati atau barang-barang yang tak bernyata seolah-olah memiliki
sifat-sifat kemanusiaan. Personifikasi (penginsanan) merupakan suatu corak
khusus dari metafora, yang mengiaskan benda-benda mati bertindak, berbuat,
berbicara seperti manusia. Bahasa Kiasan
Personifikasi dalam cerpen melukis jendela karya Djenar Maesa Ayu antara lain:
“Sebuah jendela besar tanpa tirai menghadap ke sebuah dunia yang ia
inginkan. Ia sering masuk ke dalam jendela itu lalu menemukan dirinya terbaring
di hamparan hangat pasir putih dan riak ombak menggelitik pucuk jari kakinya”
(hal. 38)
“Disambut dengan kelengangan dan kesejukan dari dalam rumahnya yang ber AC,
ia akan segera masuk kamar dan menghabiskan waktu bercakap-cakap dengan lukisan
itu” (hal. 31)
PENUTUP
Berdasarkan uraian di
atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam membuat cerpen, Djenar Maesa Ayu sangat
memperhatikan nilai estetisnya sehingga banyak ditemukan gaya bahasa dan bahasa
kiasan. Walaupun gaya bahasa yang digunakan Djenar sedikit vulgar dan sedikit
berani. Ini yang membedakan Djenar dengan penulis yang lain.
Dari ketiga cerpen yang
dianalisis, dari segi gaya bahasa retoris lebih banyak pada gaya bahasa
hiperbola dan Simile. Gaya bahasa hiperbola banyak ditemui dalam cerpen Lintah
dan Melukis Jendela, karena dari kedua cerpen tersebut Djenar lebih
berimajainasi dan banyak menggambarkan tokoh
dalam bahasa yang digunakannya yaitu bahasa kiasan. Gaya bahasa dan
bahasa kiasan tersebut berfungsi memberikan efek estetis atau keindahan. Hal
ini menjadikan karya Djenar menjadi lebih hidup dan berbeda dengan karya
lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Keraf, Gorys, 2009. Diksi dan Gaya Bahasa.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Ayu, Djenar Maesa.
2002. Mereka Bilang Saya Monyet. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Suharianto, S. 1982. Dasar-dasar Teori Sastra. Surakarta: Widya Duta
Supriyanto, Teguh. 2009. Stilistika dalam Prosa. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Supriyanto, Teguh. 2009. Stilistika dalam Prosa. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.