Senin, 25 Maret 2013

Tugas akhir makalah analisis wacana


KOHESI GRAMATIKAL PENGACUAN PERSONA

PADA CERPEN “GADIS BUKAN PERAWAN” KARYA Jenny Ervina

A.   PENDAHULUAN
1.    Latar belakang masalah
Chaer (2007:62) Banyak pakar sependapat bahwa yang dimaksud dengan wacana adalah satuan bahasa yang lengkap sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi di atas satuan kalimat. Sehingga satuan tertinggi yang lengkap maka di dalam wacana itu terdapat konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang utuh, yang bisa dipahami tanpa keraguan apa pun.
Sebuah wacana dapat dibangun oleh sebuah kalimat, dua buah kalimat, tiga buah kalimat, atau sekian jumlah kalimat. Sebuah wacana yang besar ata cukup besar biasanya dibangun oleh paragraf-paragraf. Setiap paragraf dibangun oleh sejumlah kalimat, yang saling berkaitan, yang membentuk sebuah “pikiran pokok”, dimana terdapat sebuah kalimat pokok atau kalimat utama, ditambah oleh sejumlah kalimat penjelas.
Keutuhan wacana dibangun oleh unsur kohesi dan unsur koherensi. Unsur kohesi berkenaan dengan alat-alat kebahasaan, seperti penggunaan – penggunaan konjungsi, penggunaan pronomina persona, penggunaan elipsis, dan sebagainya. Sedangkan unsur koherensi berkenaan dengan aspek semantik, seperti penggunaan hubungan pertentangan, penggunaan hubungan generik-spesifik, penggunaan hubungan sebab-akibat, penggunaan hubungan perbandingan dan sebagainya.
Dalam tulisan ini akan dianalisis aspek penanda kohesi gramatikal khususnya aspek referensi yang lebih fokus pada pengacuan persona pada sebuah cerpen karya Jenny Ervina yang berjudul Gadis Bukan Perawan. Cerpen ini termasuk didalam kumpulan cerpen pertama Jenny, dan dijadikan sebagai judul bukunya tahun 2010.
Alasan secara umum dipilihnya cerpen sebagai objek kajian adalah bentuk cerpen yang ringkas namun tetap menuntut tingkat kohesi dan koherensi yang tinggi agar tetap berupa satu wacana utuh. Sedangkan alasan secara khusus dipilihnya cerpen berjudul Gadis Bukan Perawan karena Cerpen ini menceritakan sebagian warna kelabu tenaga kerja Indonesia yang bekerja diluar Negeri, terutama tenaga kerja wanita. Menurut saya sangat menarik Gadis Bukan Perawan merupakan jerit tangis perempuan Indonesia, yang bekerja sebagai buruh migran di Taiwan. Bahkan sudah rahasia umum, terjadi hampir pada setiap buruh migran perempuan Indonesia di seluruh dunia. Mereka membanting tulang mancari nafkah untuk mengubah kehidupan keluarga. Namun, nasib getir menimpa mereka, diperkosa, dihina, disiksa, bahkan dikhianati suami tercinta. Kenyataan hidup para buruh berusaha diungkap oleh Jenny Ervina, sebagai penulisnya sekaligus bagian dari tenaga kerja wanita Indonesia di Taiwan yang mengalami nasib baik, hingga akhirnya dia bisa menulis cerpen-cerpennya.
Selanjutnya, analisis teks dalam penelitian ini akan menggunakan seluruh kalimat yang ada pada cerpen tersebut. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan hasil analisis yang lebih nyata karena masalah kohesi dan konteks situasi menyangkut masalah ketergantungan unsur-unsur dalam wacana cerpen tersebut.

2.    Perumusan Masalah
Adapun rumusan permasalahan yang diangkat sebagai berikut:
1)    Bagaimanakah bentuk kohesi gramatikal pengacuan endofora dalam cerpen Gadis Bukan Perawan yang bersifat anafora?
2)    Bagaimanakah bentuk kohesi gramatikal pengacuan endofora dalam cerpen Gadis Bukan Perawan yang bersifat katafora?

3.    Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1)    Mendeskripsikan kepaduan wacana yang didukung oleh aspek kohesi gramatikal pengacuan endofora dalam cerpen Gadis Bukan Perawan yang bersifat anafora.
2)    Mendeskripsikan kepaduan wacana yang didukung oleh aspek kohesi gramatikal pengacuan endofora dalam cerpen Gadis Bukan Perawan yang bersifat katafora.

4.    Manfaat Penelitian
Diharapkan hasil penelitian  ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1)    Menambah wawasan dalam mengkaji kepaduan suatu wacana dari aspek gramatikal yang mendukungnya.
2)    Memberikan masukan bagi mereka yang tertarik dengan masalah analisis wacana dan Sebagai bahan referensi dan sumber informasi untuk penelitian sejenis.

B.   LANDASAN TEORI
a.  Hakikat Wacana
1.    Pengertian Wacana
Odein (2004:104) Wacana merupakan satuan linguistik yang terdiri atas rangkaian ujaran (kalimat) yang saling berhubungan dan mengungkapkan satu pokok pikiran tertentu. Wacana merupakan satuan linguistik terbesar dan paling lengkap. Alwi (1998:421) konteks wacana dibentuk oleh berbagai unsur, yaitu situasi, pembicara, pendengar, waktu , tempat , adegan, topik, peristiwa, bentuk amanat,  kode, saluran.

2.    Pengertian Cerpen
Edgar Allan Poe (Jassin 1961:72 dalam Nurgiantoro 2004:10) yang mengatakan bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam satu hal yang tak mungkin dilakukan bagi sebuah novel. Disebabkan oleh panjangnya maka kemungkinan besar pembaca dapat menyelesaikan pembacaannya dalam waktu yang relative singkat.
Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian cerpen adalah suatu cerita yang relatif pendek, singkat, jika dikaitkan dengan genre cerita hanya memiliki efek tunggal, dan bisa dibaca dalam sekali duduk.

3.    Pengertian Kohesi Gramatikal
Chapman (1973:45) dalam Nurgiantoro 2004:293) unsur gramatikal yang dimaksud menyaran pada pengertian struktur kalmiat. Dalam kegiatan komunikasi bahasa, juga jika dilihat dari kepentingan stile, kalimat lebih penting dan bermakna daripada sekedar kata walau kegayaan kalimat dalam banyak hal juga dipengaruhi oleh pilihan katanya. Sebuah gagasan, pesan (baca:struktur batin), dapat diungkapkan ke dalam berbagai bentuk kalimat (baca:struktur lahir) yang berbeda-beda struktur dan kosa katanya. Dalam kalimat, kata-kata berhubungan dan berurutan secara linier yang kemudian dikenal dengan sebutan sintagmatik. Hubungan tersebut dapat di lihat dalam bentuk realisasi grafologis kalimat dalam bentuk baris-baris seperti pada halaman buku. Untuk menjadi sebuah kalimat, hubungan sintagmatik kata-kata tersebut harus gramatikal, sesuai dengan sistem kaidah yang berlaku dalam bahasa yang bersangkutan. Secara teoritis jumlah kata yang berhubungan secara sintagmatik dalam sebuah kalimat tak terbatas, dapat dapat berapa saja sehingga mungkin panjang sekali. Secara formal, memang, tak ada batas berapa jumlah kata yang seharusnya dalam sebua kalimat.
Halliday dan Hasan (1976) membagi alat kohesi gramatikal menjadi empat macam, yaitu: (1) pengacuan (referensi), (2) penyulihan (subtitusi), (3) pelesapan (elipsis), dan (4) konjungsi.
Pada referensi endofora dapat dipilah lagi menjadi dua jenis: yaitu (1) referensi endofora anafora, merupakan hubungan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya dalam teks. Hubungan ini menunjukkan sesuatu atau antesenden yang telah disebutkan sebelumnya (acu kiri). (2) referensi endofora katafora, bersifat sebaliknya, yaitu mengacu kepada antesenden yang akan disebutkan sesudahnya (acu kanan).


C.   METODE PENELITIAN
1.    Jenis Penelitian
Penelitian ini mengkaji tentang kepaduan wacana yang ditinjau dari aspek gramatikal yang melatar belakangi wacana cerita pendek. Berdasarkan hal tersebut, maka jenis penlitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif.
Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2005:4), penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriftif yang berupa kata-kata atau lisan objek yang diamati. Tahap penyediaan data dilakukan untuk mendapatkan fenomena lingual khusus yang mengandung keterkaitan dengan rumusan masalah. Penyediaan data dilakukan untuk kepentingan analisis. Selain itu, dilakukan juga pendekatan penulisan dengan interpretasi data. Pendekatan tersebut digunakan dalam menganalisis penanda kohesi gramatikal pengacuan endofora dalam cerpen Gadis Bukan Perawan karya dari Jenny Ervina.

2.    Data
Chaer (2007:64) data dalam kajian wacana adalah wacana itu sendiri, baik wacana yang panjang maupun wacana yang pendek, baik wacana secara keseluruhan (satu karangan) maupun hanya sebagian (beberapa paragraf). Dari bahan itulah, diharapkan objek penelitian dapat dijelaskan. Karena di dalamnya terdapat objek penelitian yang dimaksud. Dalam makalah ini akan disajikan data-data berupa penggalan kata-kata, kalimat atau paragraf untuk diidentifikasi unsur-unsur penanda kohesi gramatiakal pengacuan, baik yang bersifat anafora dan yang bersifat katafora.
Dalam malakah ini data-data yang disajikan berupa kutipan-kutipan, kalimat, dan paragraf untuk mengidentifikasi unsur – unsur yang membangun karya sastra cerpen.

3.    Sumber Data
Seluruh data diperoleh dari naskah cerpen berjudul Gadis Bukan Perawan  karya Jenny Ervina, yang diperoleh dari Kumpulan Cerpen Gadis Bukan Perawan tahun 2010. Cerpen ini diterbitkan oleh Gong Publishing.

D.   Hasil Penelitian dan Pembahasan
1.    Hasil Penelitian
Sesuai rumusan permasalahan yang dijabarkan dimuka, pada pengacuan endofora (pengacuan persona) dalam cerpen Gadis Bukan Perawan direalisasikan melalui pronomina persona disebut juga kata ganti, sebenarnya tidak mengganti, tetapi mengacu ke maujud tertentu yang terdapat dalm peristiwa pertuturan. Pengacuan itu dapat bersifat di luar bahasa ataupun di dala bahasa. Pronomina dapat dibagi atas pronomina persona  (antara lain, saya, kamu, dan mereka). Pronomina penunjuk (antara lain: ini, itu, sana, sini), dan pronomina penanya (antara lain: apa, siapa, dan mengapa). Yang dibicarakan berikut ini hanyalah pronomina persona.
Pronomina aku, - ku, ku-, dan saya mengacu ke persona pertama yang tunggal. Bentuk aku, -ku, dan ku- digunakan jika pembicara akrab dengan kawan bicaranya. Pronomina kami mengacu ke persona pertama yang jamak. Pronomina kita mengacu ke persona pertama dan kedua sekaligus, karena itu, acuannya jamak. Pronomina kamu, -mu, engkau, kau- mengacu ke persona kedua. Bentuk itu dipakai jika tidak hambatan psikologis pada pembicara. Pronomina (d)ia , -nya, beliau, dan mereka mengacu ke persona ketiga. Kata (d)ia digunakan jika acuannya tunggal. Bentuk –nya dapat mengacu ke persona ketiga tunggal jamak. Pusat bahasa (2008:104-106)
Pada cerpen Gadis Bukan Perawan, pengacuan persona endofora didominasi oleh pengacuan endofora yang bersifat anafora, dengan jumlah 27 pronomina persona baik berupa kalimat dan paragraf. Dan pengacuan endofora yang bersifat katafora sejumlah 14 pronomina baik kalimat dan paragraf.
a.    Bentuk kohesi gramatikal pengacuan endofora yang bersifat anafora.
Pengacuan endofora yang sifatnya anafora yaitu apabila satuan lingual mengacu kepada satuan lingual lain yang mendahuluinya.
Berikut ini contoh hasil analisis pengacuan persona berupa endofora yang bersifat anafora dalam cerpen Gadis Bukan Perawan :
1)    “Gadis cantik pakai gaun itu, Kak Bayu suka ngeliatnya”. (hal.18)
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (Gadis), karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan.  Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

2)        “Tuhan… inikah wujud kasih sayang-Mu padaku?”. Gadis terkulai  dibangku halte. (hal. 21)
Bentuk (-Mu) termasuk persona II. Pemakaian (–Mu) mengacu pada (Tuhan), karena (Tuhan) adalah orang yang diajak bicara. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

3)    “Kak Bayu bantu lepaskan mahkotanya, ya?” tanya sang lelaki seraya mengeserkan tempat duduknya lebih dekat dengan Gadis. (hal. 18-19)
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (kak bayu), karena (kak bayu) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

4)    Detak jantung keduanya semakin bertambah kencang. (hal. 19)
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (detak jantung), karena (detak jantung) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

5)    “Ini… karena Kak Bayu sayang sama Gadis.” Bisiknya menggoda. (hal.19)
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (Gadis).  Karena (Gadis) adalah orang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

6)    Untuk kemudian mencoba memberanikan diri menatap lekat pujaan hatinya. (hal. 19)
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (pujaan hati), karena (pujaan hati) adalah yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

7)    Untuk kesekian kalinya Gadis menunduk. Ia seperti ragu melanjutkan ibadah maha sempurna itu. Air mukanya tiba-tiba berubah. Ada sedikit duka menghiasi sudut matanya. (hal.19).
Bentuk (-nya) dan (-ia) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) dan (-ia) mengacu pada (Gadis), karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

8)    Bahkan sempat menggenang dikelopak mata Gadis sebelum Bayu akhirnya membantu menyeka airmatanya. (hal.19)
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (Gadis) , karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

9)    “Gadis lelah. Besok aja ya, Kak…”, katanya terbata-bata. Takut mengecewakan orang yang sedang menantinya. (hal.19)
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada   (Gadis), karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

10) Bayu tersenyum. Lega. Meski sebenarnya Ia ingin melangkah lebih jauh lagi melangkah. (hal.19)
Bentuk (-ia) termasuk persona III. Pemakaian (-ia) mengacu pada (Bayu), karena (Bayu) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

11) Dengan sangat hati-hati Gadis melangkahkan kakinya di rerumputan yang baru dipangkasnya pagi tadi. (hal. 20)
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada   (Gadis), karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

12) Gadis yang bekerja menjaga seorang Ama setahun yang lalu disebuah keluarga, tak henti-hentinya merasakan penderitaan yang datang silih berganti. Perlakuan kasar yang didapatnya dari kedua majikan (hal. 20)
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (Gadis), karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

13)  Air mata Gadis tak henti mengalir disepanjang jalanan lembab yang Ia lalui. … Ia rindu pulang. Ia rindu keluarga. Tapi, Ia juga ingat janji yang Ia ucapkan sebelum Ia pergi kepada emaknya. (hal. 20)
Bentuk (-nya) dan (-ia) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) dan (-ia) mengacu pada (Gadis), karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

14)  Gadis berjalan lunglai menyusuri gigir trotoar. Tas lusuh berisi dua helai baju, Ia dekap erat-erat. Decak-decak ketakutan jelas membekas disetiap langkahnya. (hal. 20)
Bentuk (-nya) dan (-ia) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) dan (-ia) mengacu pada (Gadis), karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

15) Gadis tergugu disebuah halte. Menunggu sesuatu yang tidak Ia ketahui. Lapar yang menyeranya sejak siang tadi sudah tidak ia hiraukan. Ia sudah terlalu lelah, sehingga membuatnya lupa. (hal. 20-21)
Bentuk (-nya) dan (-ia) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) dan (-ia) mengacu pada (Gadis), karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

16) Seketika Gadis tergugu, menangisi nasib yang sedang mempermainkan kepolosannya. Berkali-kali Ia panggil nama Emaknya. Berkali-kali Ia menyebut Tuhan disela isak tangisnya. Tapi nyatanya saat ini Ia sendiri. (hal. 21)
Bentuk (-nya) dan (-ia) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) dan (-ia) mengacu pada (Gadis), karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

17) Menampakkan sesosok lelaki penuh wibawa dengan mata sipit yang tersembunyi dibalik kaca mata tebalnya. Perutnya sedikit tambun. Rambutnya klimis tersisir rapi ala tahun 80-an. (hal. 21)
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (Lelaki), karena (lelaki) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

18) Sementara Gadis masih terdiam. Hanya sisa-sisa tangis yang menandakan Ia masih berada dalam batas alam kesadaran. (hal. 22)
Bentuk (-Ia) termasuk persona III. Pemakaian (–Ia) mengacu pada (Gadis), karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

19) Bayu muncul dari baliknya. Seketika Ia terpana melihat pemandangan yang sedang Ia saksikan. (hal. 23)
Bentuk (-Ia) termasuk persona III. Pemakaian (–Ia) mengacu pada (Bayu), karena (Bayu) adalah orang yang dibicarakan.
Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

20) “Ah, andai waktu itu Kakak yang menolong Gadis …”, Ia pun lalu mendesah. (hal. 24)
Bentuk (-Ia) termasuk persona III. Pemakaian (–Ia) mengacu pada (Gadis), karena (Gadia) adalah orang yang dibicarakan.
Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

21) “Semoga Allah melindungi Kakak dari apa yang sudah Kakak ucapkan. Kakak terima Gadis apa adanya”. Lembut Ia satukan jemari Gadis diantara jemarinya. (hal. 24)
Bentuk (-Ia) dan (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–Ia)dan (-nya) mengacu pada (Kakak), karena (Kakak) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

22) Bayu seketika terpaku. Jemarinya perlahan terlepas dari genggaman Gadis. Ia seperti mendapat mimpi buruk ditengah keterjagaannya. … (hal. 25)
Bentuk (-Ia) dan (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–Ia) dan (-nya) mengacu pada (Bayu), karena (Bayu) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

23) “Gadis sudah siap”, katanya lirih. (hal. 25)
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (Gadis), karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)


24) “Maaf Gadis. Kakak lelah…”, datar sekali bicaranya. (hal. 25)
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (Gadis), karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

25) Mulut Bayu seolah kaku. Sehingga untuk mengucapkan satu patah katapun rasanya sulit. Apa yang barusan didengarnya dari mulu Gadis telah membawa Ia ke dalam batas ketaksadaran. … (hal. 25)
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (Bayu), karena (Bayu) adalah orang yang dibicarakan.
Bentuk (-Ia) termasuk persona III. Pemakaian (–Ia) mengacu pada (Bayu), karena (Bayu) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

26) Mmm...., Nona sudah bangun rupanya?” dengan santai lelaki itu duduk di samping Gadis. Lalu memberikan beberapa bungkusan berisi makanan. Saya dimana?” tanya Gadis ketakutan. “Kamu dirumah Saya. Tadi malam Saya menemukan Kamu pingsan dibangku halte.” Jelasnya seraya membenarkan posisi kacamata. (hal. 21 - 22)
Bentuk (Kamu) termasuk persona II. Pemakaian (Kamu) mengacu pada (Gadis), karena (Gadis) adalah orang yang diajak bicara.
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (-nya) mengacu pada (Lelaki), karena (Lelaki) adalah orang yang dibicarakan.
Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

27) “Tuhan… inikah yang Engkau rencanakan untukku?” batin Gadis. (hal. 22)
Bentuk (Engkau) termasuk persona II. Pemakaian (Engkau) mengacu pada (Tuhan), karena (Tuhan) adalah orang yang diajak bicara. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

28) “Seandainya suatu malam Kakak bertemu dengan sesorang wanita yang sedang membutuhkan pertolongan. Sendiri terlunta-lunta kelaparan,. Apa yang Kakak lakukan?”seruis sekali nada Gadis. “Ya… Kakak kasih dia makan lalu antarkan dia pulang.” Jawab Bayu sembarangan. (hal. 24)
Bentuk (Dia) termasuk persona III. Pemakaian (Dia) mengacu pada (seorang wanita), karena (seorang wanita) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)

a.         Bentuk kohesi gramatikal pengacuan endofora yang bersifat katafora.
Pengacuan berikutnya adalah pengacuan endofora yang bersifat katafora. Endofora yang bersifat katafora mayoritas unsur acuannya berada pada satu kalimat yang sama dengan unsur kohesinya. Berdasarkan analisis pada data diatas, yakni contoh pengacuan endofora yang bersifat anafora, dapat disimpulkan bahwa pengacuan persona endofora yang bersifat katafora pun didominasi oleh bentuk pronominal persona bentuk kata ganti orang pertama. Berikut ini contoh pengacuan persona berupa endofora  yang bersifat katafora pada cerpen Gadis Bukan Perawan.
1)  “Tuhan… inikah wujud kasih sayang-Mu padaku?”. Gadis terkulai dibangku halte. (hal. 21)
Gadis telah membawa Ia kea lam batas kesadaran. … (hal. 25
Bentuk (Ku) termasuk persona I. Pemakaian (Ku) mengacu pada (Gadis), karena (Gadia) adalah pembicara / berbicara pada diri sendiri. Memiliki persona endofora yang bersifat katafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang disebutkan sesudahnya)


2)  Saya lapar…”, rintih Gadis ketika perlahan membuka mata. (hal. 21)
Bentuk (Saya) termasuk persona I. Pemakaian (Saya) mengacu pada (Gadis), karena (Gadis) adalah pembicara/ berbicara pada diri sendiri. Memiliki persona endofora yang bersifat katafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang disebutkan sesudahnya)

3)  “Mmm…, Nona sudah bangun rupanya?” dengan santai lelaki itu duduk disamping Gadis. (hal. 22)
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (Gadis), karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat katafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang disebutkan sesudahnya)

4)  Kamu aman disini.” Lelaki tambun itu benar-benar menangkap apa yang Gadis khawatirkan. (hal. 22)
Bentuk (Kamu) termasuk persona II. Pemakaian (Kamu) mengacu pada (Gadis), karena (Gadis) adalah orang yang di ajak bicara. Memiliki persona endofora yang bersifat katafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang disebutkan sesudahnya)

5)  “Tuhan… inikah yang Engkau rencanakan untukku?” batin Gadis. (hal. 22)

Bentuk (-Ku) termasuk persona I. Pemakaian (-Ku) mengacu pada (Gadis), karena (Gadis) adalah pembicara/ berbicara pada diri sendiri. Memiliki persona endofora yang bersifat katafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang disebutkan sesudahnya)

6)  “Sekarang Kamu makan. Lalu bersihkan badan. Saya sudah belikan baju untuk Kamu pakai.” Sesaat setelah menyelesaikan kalimatnya Ia pun berlalu  meninggalkan Gadis yang masih duduk membisu dibalut kebingungan. (hal. 22)
Bentuk (Kamu) termasuk persona II. Pemakaian (Kamu) mengacu pada (Gadis), karena (Gadis) adalah orang yang diajak bicara. Memiliki persona endofora yang bersifat katafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang disebutkan sesudahnya)

7)  Saya dimana?” tanya Gadis ketakutan.
Bentuk (Saya) termasuk persona I. Pemakaian (Saya) mengacu pada (Gadis), karena (Gadis) adalah pembicara / berbicara pada diri sendiri. Memiliki persona endofora yang bersifat katafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang disebutkan sesudahnya)


Pada pengacuan endofora yang bersifat katafora, jelas terlihat pada contoh diatas, bahwa pengacuan endofora sifat katafora banyak terselip dalam kalimat dialog. Penulis menekankan karakter-karakter tokohnya pada penggalan dialog antar tokoh. Selain itu, pada setiap dialog disebutkan siapa yang menuturkan dialog tersebut, sehingga aspek pengacuan persona dapat ditemukan hampir seluruh kalimat data dalam wacana.

2.    Pembahasan
Penggunaan aspek gramatikal menjadi dominasi dalam wacana cerpen Gadis Bukan Perawan, hal ini memiliki beberapa latar belakang yang beralasan. Pertama, cerpen ini merupakan sebuah wacana naratif yang memiliki ruang lingkup kecil, dengan pengungkapan alur cerita yang didominasi oleh pengunaan dialog-dialog singkat. Dan dengan tokoh atau karakter yang sama dari awal hingga akhir cerita. sehingga untuk menghindari penyebutan kembali nama karakter yang sama secara berulang, penulis cerpen lebih banyak menggunakan pronominal persona atau panggilan karakter tokoh secara umum.
Selain itu, dalam setiap dialog disebutkan siapa yang menuturkan dialog tersebut, sehingga aspek pengacuan persona dapat ditemukan dihampir seluruh kalimat data dalam wacana. Secara khusus alasan penggunaan aspek pengacuan yang mendominasi ini adalah sebagai upaya pengarang untuk memperkenalkan karakter dari tokoh-tokoh ceritanya. Hal ini dilakukan dengan cara menyebutkan nomina atau frasa nomina tertentu yang merujuk pada karakter cerita secara berulang-ulang. Penyebutan nomina dan frasa nomina sebagai unsur acuan ini hampir selalu diikuti oleh penggunaan pronomina persona yang merupakan unsur kohesinya.
Berdasarkan hasil analisis pada wacana cerpen Gadis Bukan Perawan dapat disimpulkan bahwa pengarang memberikan kemudahan bagi pembaca untuk menginterpretasikan makna cerita dan karakter tokoh, karena dalam cerpen ini pengarang sudah banyak berkomentar dan mendeskripsikan dengan jelas situasi cerita melalui penyebutan beberapa nomina secara berulang-ulang. Selain itu, adanya beberapa dialog berfungsi untuk memberikan penguatan atau mempertegas karakter tokoh pada rangkaian paragraf deskripsi.
Banyaknya pengacuan endofora bersifat anafora yang mendominasi aspek pengacuan dalam wacana cerpen Gadis Bukan Perawan, dapat dipahami karena beberapa alasan. Pertama wacana ini berupa cerpen yang tersusun atas kalimat-kalimat deskriptif yang saling berhubungan dan memiliki keterkaitan satu sama lainnya membentuk paragraf-paragraf. Dengan beberapa tokoh atau karakter yang relatif sama dari awal hingga akhir cerita, membuat penyebutan para karakter (setelah penyebutan nama karakter), penulis lebih banyak menggunakan pronomina persona. Akan tetapi, terkadang penulis juga menggunakan panggilan lain sebagai pronominal persona seperti, Kakak, Ade, Lelaki dan Perempuan.
Yang kedua, semua pengacuan persona berupa dalam cerpen Gadis Bukan Perawan merupakan pengacuan yang bersifat endofora anafora, yakni unsusr acuan atau antesendennya berada disebelah kiri atau telah disebutkan sebelumnya. Kemudian, untuk dialog-dialog yang mengisi setiap paragraf pada cerpen ini berperan sebagai penguatan atas karakter tokoh yang dideskripsikan pada paragraf  sebelunya. Pada dialog-dialog ini pengacuan persona endofora yang bersifat katafora lah yang mendominasi. Maksudnya untuk memperjelas siapa yang berdialog dalam teks tersebut, sehingga dapat terlihat karakter-karakter tokoh melalui dialog yang diujarkannya.











E.   Penutup

Berdasarkan penjelasan hasil analisis data maka dapat disimpulkan bahwa dalam wacana cerpen Gadis Bukan Perawan ditemukan dua aspek kohesi gramatikal berupa pengacuan, yaitu pengacuan persona endofora yang bersifat anafora dan katafora. Jumlah total pengacuan persona 130, berupa anafora dan katafora. Kemudian mengenai wacana cerpen, bahwa untuk memahami sebuah wacana tidak terlepas dari keterkaitan antara teks dan konteks. Analisis wacana ini membuktikan teks dan konteks adalah dua hal tidak dapat terpisahkan dalam sebuah wacana. Hal ini membuktikan pendapat dari Halliday dan Hasan (1992: 66) yang menyatakan bahwa setiap bagian teks sekaligus merupakan teks dan konteks, dalam memusatkan perhatian pada bahasa kita harus sadar akan adanya kedua fungsi itu.










DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2007. Kajian Bahasa : Sturktur internal, pemaknaan, dan pemelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Odien R dan Suherlan. 2004. Ikhwal Ilmu Bahasa dan Cakupannya. Serang: Untirta Press
Moloeng, Lexy J. 2005. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya
Halliday, M.A.K & Hasan. 1992. Bahasa, Konteks, dan Teks: Aspek-aspek bahasa dalam pandangan semiotik sosial. Terjemahan  (1992). Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press.
Halliday, M.A.K & Hasan. 1976. Cohesion in English. London: Longman House.

Pusat Bahasa. 2008. Buku Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Nurgiantoro, Burhan. 2012. Teori Pengkaji Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada Uneversity Pres
Hasan, Alwi. 1998. Tata bahasa Baku Bahasa Indonesia  Edisi 3. Jakarta: Balai Pustaka
Ervina, Jenny. 2010. Gadis Bukan Perawan. Serang: Gong Publishing

1 komentar: