KOHESI GRAMATIKAL PENGACUAN PERSONA
PADA CERPEN “GADIS BUKAN
PERAWAN” KARYA Jenny Ervina
A.
PENDAHULUAN
1.
Latar belakang
masalah
Chaer (2007:62) Banyak pakar sependapat bahwa yang
dimaksud dengan wacana adalah satuan bahasa yang lengkap sehingga dalam
hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi di atas satuan
kalimat. Sehingga satuan tertinggi yang lengkap maka di dalam wacana itu
terdapat konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang utuh, yang bisa dipahami tanpa
keraguan apa pun.
Sebuah wacana dapat dibangun oleh sebuah kalimat, dua
buah kalimat, tiga buah kalimat, atau sekian jumlah kalimat. Sebuah wacana yang
besar ata cukup besar biasanya dibangun oleh paragraf-paragraf. Setiap paragraf
dibangun oleh sejumlah kalimat, yang saling berkaitan, yang membentuk sebuah
“pikiran pokok”, dimana terdapat sebuah kalimat pokok atau kalimat utama,
ditambah oleh sejumlah kalimat penjelas.
Keutuhan wacana dibangun oleh unsur kohesi dan unsur koherensi.
Unsur kohesi berkenaan dengan alat-alat kebahasaan, seperti penggunaan –
penggunaan konjungsi, penggunaan pronomina persona, penggunaan elipsis, dan
sebagainya. Sedangkan unsur koherensi berkenaan dengan aspek semantik, seperti
penggunaan hubungan pertentangan, penggunaan hubungan generik-spesifik,
penggunaan hubungan sebab-akibat, penggunaan hubungan perbandingan dan
sebagainya.
Dalam tulisan ini akan
dianalisis aspek penanda kohesi gramatikal khususnya aspek referensi yang lebih fokus pada pengacuan persona pada sebuah cerpen karya Jenny Ervina yang
berjudul Gadis Bukan Perawan. Cerpen ini termasuk didalam kumpulan cerpen pertama Jenny, dan
dijadikan sebagai judul bukunya tahun 2010.
Alasan secara umum dipilihnya cerpen sebagai objek kajian
adalah bentuk cerpen yang ringkas namun tetap menuntut tingkat kohesi dan
koherensi yang tinggi agar tetap berupa satu wacana utuh. Sedangkan alasan
secara khusus dipilihnya cerpen berjudul Gadis Bukan Perawan karena Cerpen ini menceritakan
sebagian warna kelabu tenaga kerja Indonesia yang bekerja diluar Negeri,
terutama tenaga kerja wanita. Menurut saya sangat menarik Gadis Bukan Perawan merupakan jerit tangis perempuan Indonesia,
yang bekerja sebagai buruh migran di Taiwan. Bahkan sudah rahasia umum, terjadi hampir pada setiap buruh
migran perempuan Indonesia di seluruh dunia. Mereka membanting tulang mancari
nafkah untuk mengubah kehidupan keluarga. Namun, nasib getir menimpa mereka,
diperkosa, dihina, disiksa, bahkan dikhianati suami tercinta. Kenyataan hidup
para buruh berusaha diungkap oleh Jenny Ervina, sebagai penulisnya sekaligus
bagian dari tenaga kerja wanita Indonesia di Taiwan yang mengalami nasib baik,
hingga akhirnya dia bisa menulis cerpen-cerpennya.
Selanjutnya, analisis teks dalam penelitian ini
akan menggunakan seluruh kalimat yang ada pada cerpen tersebut. Penelitian ini
diharapkan dapat memberikan hasil analisis yang lebih nyata karena masalah
kohesi dan konteks situasi menyangkut masalah ketergantungan unsur-unsur dalam
wacana cerpen tersebut.
2.
Perumusan Masalah
Adapun rumusan permasalahan
yang diangkat sebagai berikut:
1) Bagaimanakah bentuk kohesi gramatikal pengacuan
endofora dalam cerpen Gadis Bukan Perawan
yang bersifat anafora?
2) Bagaimanakah bentuk kohesi gramatikal pengacuan
endofora dalam cerpen Gadis Bukan Perawan
yang bersifat katafora?
3.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan
dari penelitian ini adalah:
1) Mendeskripsikan kepaduan wacana yang didukung
oleh aspek kohesi gramatikal pengacuan endofora dalam cerpen Gadis Bukan Perawan yang bersifat anafora.
2) Mendeskripsikan kepaduan wacana yang didukung
oleh aspek kohesi gramatikal pengacuan endofora dalam cerpen Gadis Bukan Perawan yang bersifat katafora.
4.
Manfaat Penelitian
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1) Menambah wawasan dalam mengkaji kepaduan suatu
wacana dari aspek gramatikal yang mendukungnya.
2) Memberikan masukan bagi mereka yang tertarik
dengan masalah analisis wacana dan Sebagai bahan referensi dan sumber informasi untuk penelitian
sejenis.
B.
LANDASAN TEORI
a. Hakikat Wacana
1.
Pengertian Wacana
Odein (2004:104) Wacana merupakan satuan
linguistik yang terdiri atas rangkaian ujaran (kalimat) yang saling berhubungan
dan mengungkapkan satu pokok pikiran tertentu. Wacana merupakan satuan
linguistik terbesar dan paling lengkap. Alwi (1998:421) konteks wacana dibentuk
oleh berbagai unsur, yaitu situasi, pembicara, pendengar, waktu , tempat ,
adegan, topik, peristiwa, bentuk amanat,
kode, saluran.
2.
Pengertian Cerpen
Edgar Allan Poe (Jassin 1961:72 dalam Nurgiantoro 2004:10) yang mengatakan
bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk,
kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam satu hal yang tak mungkin
dilakukan bagi sebuah novel. Disebabkan oleh panjangnya maka kemungkinan besar
pembaca dapat menyelesaikan pembacaannya dalam waktu yang relative singkat.
Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat
disimpulkan bahwa pengertian cerpen adalah suatu cerita yang relatif
pendek, singkat, jika dikaitkan dengan genre cerita hanya memiliki efek tunggal,
dan bisa dibaca dalam sekali duduk.
3.
Pengertian Kohesi Gramatikal
Chapman (1973:45) dalam Nurgiantoro 2004:293) unsur gramatikal yang dimaksud menyaran pada pengertian struktur
kalmiat. Dalam kegiatan komunikasi bahasa, juga jika dilihat dari kepentingan
stile, kalimat lebih penting dan bermakna daripada sekedar kata walau kegayaan
kalimat dalam banyak hal juga dipengaruhi oleh pilihan katanya. Sebuah gagasan,
pesan (baca:struktur batin), dapat diungkapkan ke dalam berbagai bentuk kalimat
(baca:struktur lahir) yang berbeda-beda struktur dan kosa katanya. Dalam
kalimat, kata-kata berhubungan dan berurutan secara linier yang kemudian
dikenal dengan sebutan sintagmatik. Hubungan tersebut dapat di lihat dalam
bentuk realisasi grafologis kalimat dalam bentuk baris-baris seperti pada
halaman buku. Untuk menjadi sebuah kalimat, hubungan sintagmatik kata-kata
tersebut harus gramatikal, sesuai dengan sistem kaidah yang berlaku dalam
bahasa yang bersangkutan. Secara teoritis jumlah kata yang berhubungan secara
sintagmatik dalam sebuah kalimat tak terbatas, dapat dapat berapa saja sehingga
mungkin panjang sekali. Secara formal, memang, tak ada batas berapa jumlah kata
yang seharusnya dalam sebua kalimat.
Halliday dan Hasan (1976) membagi
alat kohesi gramatikal menjadi empat macam, yaitu: (1) pengacuan (referensi),
(2) penyulihan (subtitusi), (3) pelesapan (elipsis), dan (4) konjungsi.
Pada referensi endofora dapat dipilah lagi
menjadi dua jenis: yaitu (1) referensi endofora anafora, merupakan
hubungan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya dalam teks.
Hubungan ini menunjukkan sesuatu atau antesenden yang telah disebutkan
sebelumnya (acu kiri). (2) referensi endofora katafora, bersifat sebaliknya,
yaitu mengacu kepada antesenden yang akan disebutkan sesudahnya (acu kanan).
C.
METODE PENELITIAN
1.
Jenis Penelitian
Penelitian ini mengkaji tentang kepaduan wacana
yang ditinjau dari aspek gramatikal yang melatar belakangi wacana
cerita pendek. Berdasarkan hal tersebut, maka jenis penlitian ini adalah
penelitian kualitatif deskriptif.
Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong,
2005:4), penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data
deskriftif yang berupa kata-kata atau lisan objek yang diamati. Tahap penyediaan data dilakukan untuk mendapatkan fenomena lingual
khusus yang mengandung keterkaitan dengan rumusan masalah. Penyediaan data
dilakukan untuk kepentingan analisis. Selain itu, dilakukan juga pendekatan
penulisan dengan interpretasi data. Pendekatan tersebut digunakan dalam
menganalisis penanda kohesi gramatikal pengacuan endofora dalam cerpen Gadis Bukan Perawan karya dari Jenny
Ervina.
2.
Data
Chaer (2007:64) data dalam kajian wacana
adalah wacana itu sendiri, baik wacana yang panjang maupun wacana yang pendek,
baik wacana secara keseluruhan (satu karangan) maupun hanya sebagian (beberapa
paragraf). Dari bahan itulah, diharapkan objek penelitian
dapat dijelaskan. Karena di dalamnya terdapat objek penelitian yang
dimaksud. Dalam makalah ini akan disajikan data-data berupa penggalan
kata-kata, kalimat atau paragraf untuk diidentifikasi unsur-unsur penanda
kohesi gramatiakal pengacuan, baik yang bersifat anafora dan
yang bersifat katafora.
Dalam malakah ini data-data yang disajikan
berupa kutipan-kutipan, kalimat, dan paragraf untuk mengidentifikasi unsur –
unsur yang membangun karya sastra cerpen.
3.
Sumber Data
Seluruh data diperoleh dari naskah cerpen
berjudul Gadis Bukan Perawan karya Jenny Ervina, yang diperoleh dari
Kumpulan Cerpen Gadis Bukan Perawan tahun
2010. Cerpen ini diterbitkan oleh Gong Publishing.
D.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
1.
Hasil Penelitian
Sesuai rumusan permasalahan yang dijabarkan
dimuka, pada pengacuan endofora (pengacuan persona) dalam cerpen Gadis Bukan Perawan direalisasikan
melalui pronomina persona disebut juga kata ganti, sebenarnya tidak mengganti, tetapi mengacu
ke maujud tertentu yang terdapat dalm peristiwa pertuturan. Pengacuan itu dapat
bersifat di luar bahasa ataupun di dala bahasa. Pronomina dapat dibagi atas
pronomina persona (antara lain, saya,
kamu, dan mereka). Pronomina penunjuk (antara lain: ini, itu,
sana, sini), dan pronomina penanya (antara lain: apa, siapa, dan mengapa).
Yang dibicarakan berikut ini hanyalah pronomina persona.
Pronomina aku, - ku, ku-, dan saya
mengacu ke persona pertama yang tunggal. Bentuk aku, -ku, dan ku-
digunakan jika pembicara akrab dengan kawan bicaranya. Pronomina kami
mengacu ke persona pertama yang jamak. Pronomina kita mengacu ke persona
pertama dan kedua sekaligus, karena itu, acuannya jamak. Pronomina kamu,
-mu, engkau, kau- mengacu ke persona kedua. Bentuk itu dipakai jika tidak
hambatan psikologis pada pembicara. Pronomina (d)ia , -nya, beliau, dan mereka
mengacu ke persona ketiga. Kata (d)ia digunakan jika acuannya
tunggal. Bentuk –nya dapat mengacu ke persona ketiga tunggal jamak.
Pusat bahasa (2008:104-106)
Pada cerpen Gadis
Bukan Perawan, pengacuan persona endofora didominasi oleh pengacuan
endofora yang bersifat anafora, dengan jumlah 27 pronomina persona
baik berupa kalimat dan paragraf. Dan pengacuan endofora yang bersifat katafora
sejumlah 14 pronomina baik kalimat dan paragraf.
a. Bentuk kohesi gramatikal pengacuan endofora
yang bersifat anafora.
Pengacuan endofora yang sifatnya anafora yaitu apabila satuan lingual
mengacu kepada satuan lingual lain yang mendahuluinya.
Berikut ini contoh
hasil analisis pengacuan persona berupa endofora yang bersifat anafora dalam cerpen Gadis Bukan Perawan :
1)
“Gadis cantik pakai
gaun itu, Kak Bayu suka ngeliatnya”.
(hal.18)
Bentuk (-nya)
termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (Gadis), karena (Gadis)
adalah orang yang dibicarakan. Memiliki
persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual
yang mendahuluinya)
2)
“Tuhan… inikah wujud
kasih sayang-Mu padaku?”. Gadis terkulai dibangku halte. (hal. 21)
Bentuk (-Mu)
termasuk persona II. Pemakaian (–Mu) mengacu pada (Tuhan),
karena (Tuhan) adalah orang yang diajak bicara. Memiliki persona
endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang
mendahuluinya)
3)
“Kak Bayu bantu
lepaskan mahkotanya, ya?”
tanya sang lelaki seraya mengeserkan tempat duduknya lebih dekat
dengan Gadis. (hal. 18-19)
Bentuk (-nya)
termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (kak bayu), karena
(kak bayu) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat
anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)
4)
Detak jantung keduanya semakin bertambah kencang. (hal. 19)
Bentuk (-nya)
termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (detak jantung),
karena (detak jantung) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora
yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)
5)
“Ini… karena Kak
Bayu sayang sama Gadis.”
Bisiknya menggoda. (hal.19)
Bentuk (-nya)
termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (Gadis). Karena (Gadis) adalah orang dibicarakan.
Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan
lingual yang mendahuluinya)
6)
Untuk kemudian
mencoba memberanikan diri menatap lekat pujaan hatinya. (hal. 19)
Bentuk (-nya)
termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (pujaan hati),
karena (pujaan hati) adalah yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang
bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)
7)
Untuk kesekian
kalinya Gadis menunduk. Ia seperti
ragu melanjutkan ibadah maha sempurna itu. Air mukanya tiba-tiba
berubah. Ada sedikit duka menghiasi sudut matanya. (hal.19).
Bentuk (-nya) dan (-ia)
termasuk persona III. Pemakaian (–nya) dan (-ia) mengacu pada (Gadis),
karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora
yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)
8)
Bahkan sempat
menggenang dikelopak mata Gadis sebelum Bayu akhirnya membantu menyeka airmatanya. (hal.19)
Bentuk (-nya)
termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (Gadis) , karena (Gadis)
adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora
(karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)
9)
“Gadis lelah. Besok
aja ya, Kak…”, katanya terbata-bata. Takut mengecewakan orang
yang sedang menantinya. (hal.19)
Bentuk (-nya)
termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (Gadis), karena (Gadis) adalah
orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena
mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)
10)
Bayu tersenyum.
Lega. Meski sebenarnya Ia ingin melangkah lebih jauh lagi
melangkah. (hal.19)
Bentuk (-ia) termasuk persona III. Pemakaian (-ia) mengacu
pada (Bayu), karena (Bayu) adalah orang yang dibicarakan.
Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan
lingual yang mendahuluinya)
11)
Dengan sangat
hati-hati Gadis melangkahkan kakinya
di rerumputan yang baru dipangkasnya
pagi tadi. (hal. 20)
Bentuk (-nya)
termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (Gadis), karena (Gadis) adalah
orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena
mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)
12) Gadis yang bekerja menjaga seorang Ama setahun
yang lalu disebuah keluarga, tak henti-hentinya merasakan penderitaan yang
datang silih berganti. Perlakuan kasar yang didapatnya dari kedua
majikan (hal. 20)
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu
pada (Gadis), karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan.
Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan
lingual yang mendahuluinya)
13)
Air mata Gadis tak
henti mengalir disepanjang jalanan lembab yang Ia lalui. … Ia rindu pulang. Ia rindu keluarga. Tapi, Ia juga ingat janji yang Ia ucapkan sebelum Ia pergi kepada emaknya. (hal. 20)
Bentuk (-nya) dan (-ia)
termasuk persona III. Pemakaian (–nya) dan (-ia) mengacu pada (Gadis),
karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora
yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)
14)
Gadis berjalan lunglai menyusuri gigir
trotoar. Tas lusuh berisi dua helai baju, Ia dekap erat-erat.
Decak-decak ketakutan jelas membekas disetiap langkahnya. (hal. 20)
Bentuk (-nya) dan (-ia) termasuk persona III. Pemakaian (–nya)
dan (-ia) mengacu pada (Gadis), karena (Gadis) adalah
orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena
mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)
15)
Gadis tergugu
disebuah halte. Menunggu sesuatu yang tidak Ia ketahui. Lapar
yang menyeranya sejak siang tadi sudah tidak ia hiraukan. Ia sudah terlalu lelah, sehingga membuatnya lupa. (hal. 20-21)
Bentuk (-nya) dan (-ia) termasuk persona III. Pemakaian (–nya)
dan (-ia) mengacu pada (Gadis), karena (Gadis) adalah
orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena
mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)
16)
Seketika Gadis
tergugu, menangisi nasib yang sedang mempermainkan kepolosannya.
Berkali-kali Ia panggil nama
Emaknya. Berkali-kali Ia menyebut Tuhan disela isak tangisnya. Tapi nyatanya saat ini Ia sendiri. (hal. 21)
Bentuk (-nya) dan (-ia) termasuk persona III. Pemakaian (–nya)
dan (-ia) mengacu pada (Gadis), karena (Gadis) adalah
orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena
mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)
17)
Menampakkan sesosok
lelaki penuh wibawa dengan mata sipit yang tersembunyi dibalik kaca mata tebalnya. Perutnya sedikit tambun. Rambutnya klimis tersisir rapi ala tahun 80-an.
(hal. 21)
Bentuk (-nya)
termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (Lelaki),
karena (lelaki) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora
yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)
18)
Sementara Gadis
masih terdiam. Hanya sisa-sisa tangis yang menandakan Ia masih berada dalam batas alam kesadaran. (hal. 22)
Bentuk (-Ia) termasuk persona III. Pemakaian (–Ia) mengacu
pada (Gadis), karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan.
Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan
lingual yang mendahuluinya)
19)
Bayu muncul dari
baliknya. Seketika Ia terpana melihat pemandangan yang
sedang Ia saksikan. (hal. 23)
Bentuk (-Ia)
termasuk persona III. Pemakaian (–Ia) mengacu pada (Bayu), karena
(Bayu) adalah orang yang dibicarakan.
Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan
lingual yang mendahuluinya)
20)
“Ah, andai waktu itu
Kakak yang menolong Gadis …”, Ia
pun lalu mendesah. (hal. 24)
Bentuk (-Ia)
termasuk persona III. Pemakaian (–Ia) mengacu pada (Gadis),
karena (Gadia) adalah orang yang dibicarakan.
Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada
satuan lingual yang mendahuluinya)
21)
“Semoga Allah
melindungi Kakak dari apa yang sudah Kakak ucapkan. Kakak terima Gadis apa
adanya”. Lembut Ia satukan
jemari Gadis diantara jemarinya.
(hal. 24)
Bentuk (-Ia) dan (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–Ia)dan
(-nya) mengacu pada (Kakak), karena (Kakak) adalah orang yang
dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu
kepada satuan lingual yang mendahuluinya)
22)
Bayu seketika terpaku.
Jemarinya perlahan terlepas
dari genggaman Gadis. Ia seperti mendapat mimpi buruk ditengah
keterjagaannya. … (hal. 25)
Bentuk (-Ia) dan (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–Ia)
dan (-nya) mengacu pada (Bayu), karena (Bayu) adalah orang yang dibicarakan.
Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan
lingual yang mendahuluinya)
23)
“Gadis sudah siap”,
katanya lirih. (hal. 25)
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu
pada (Gadis), karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan.
Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan
lingual yang mendahuluinya)
24)
“Maaf Gadis. Kakak
lelah…”, datar sekali bicaranya.
(hal. 25)
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu
pada (Gadis), karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan.
Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan
lingual yang mendahuluinya)
25)
Mulut Bayu seolah kaku. Sehingga untuk mengucapkan satu patah katapun
rasanya sulit. Apa yang barusan didengarnya dari mulu Gadis telah
membawa Ia ke dalam batas ketaksadaran.
… (hal. 25)
Bentuk (-nya)
termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (Bayu), karena (Bayu)
adalah orang yang dibicarakan.
Bentuk (-Ia)
termasuk persona III. Pemakaian (–Ia) mengacu pada (Bayu), karena
(Bayu) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang
bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)
26)
“Mmm...., Nona sudah bangun rupanya?” dengan santai lelaki itu duduk di
samping Gadis. Lalu memberikan beberapa bungkusan berisi makanan. Saya dimana?” tanya
Gadis ketakutan. “Kamu dirumah Saya. Tadi malam Saya menemukan Kamu pingsan dibangku halte.” Jelasnya seraya
membenarkan posisi kacamata. (hal. 21 - 22)
Bentuk (Kamu)
termasuk persona II. Pemakaian (Kamu) mengacu pada (Gadis),
karena (Gadis) adalah orang yang diajak bicara.
Bentuk (-nya)
termasuk persona III. Pemakaian (-nya) mengacu pada (Lelaki), karena (Lelaki)
adalah orang yang dibicarakan.
Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada
satuan lingual yang mendahuluinya)
27)
“Tuhan… inikah yang Engkau rencanakan untukku?”
batin Gadis. (hal. 22)
Bentuk (Engkau)
termasuk persona II. Pemakaian (Engkau) mengacu pada (Tuhan),
karena (Tuhan) adalah orang yang diajak bicara. Memiliki persona
endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang
mendahuluinya)
28)
“Seandainya suatu malam Kakak bertemu dengan sesorang wanita yang sedang
membutuhkan pertolongan. Sendiri terlunta-lunta kelaparan,. Apa yang Kakak
lakukan?”seruis sekali nada Gadis. “Ya… Kakak kasih dia makan lalu
antarkan dia pulang.” Jawab Bayu
sembarangan. (hal. 24)
Bentuk (Dia)
termasuk persona III. Pemakaian (Dia) mengacu pada (seorang wanita),
karena (seorang wanita) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona
endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang
mendahuluinya)
a.
Bentuk kohesi gramatikal pengacuan endofora yang bersifat katafora.
Pengacuan berikutnya adalah pengacuan endofora yang bersifat
katafora. Endofora yang bersifat katafora mayoritas unsur acuannya berada pada
satu kalimat yang sama dengan unsur kohesinya. Berdasarkan analisis pada data
diatas, yakni contoh pengacuan endofora yang bersifat anafora, dapat
disimpulkan bahwa pengacuan persona endofora yang bersifat katafora pun
didominasi oleh bentuk pronominal persona bentuk kata ganti orang pertama.
Berikut ini contoh pengacuan persona berupa endofora yang bersifat katafora pada cerpen Gadis Bukan Perawan.
1)
“Tuhan… inikah wujud
kasih sayang-Mu padaku?”. Gadis terkulai dibangku halte. (hal. 21)
Gadis telah membawa Ia kea lam batas kesadaran. … (hal. 25
Bentuk (Ku)
termasuk persona I. Pemakaian (Ku) mengacu pada (Gadis),
karena (Gadia) adalah pembicara / berbicara pada diri sendiri. Memiliki
persona endofora yang bersifat katafora (karena mengacu kepada satuan lingual
yang disebutkan sesudahnya)
2) “Saya lapar…”, rintih Gadis ketika perlahan membuka
mata. (hal. 21)
Bentuk (Saya)
termasuk persona I. Pemakaian (Saya) mengacu pada (Gadis), karena
(Gadis) adalah pembicara/ berbicara pada diri sendiri. Memiliki persona
endofora yang bersifat katafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang
disebutkan sesudahnya)
3)
“Mmm…, Nona sudah bangun
rupanya?” dengan santai lelaki itu duduk disamping Gadis. (hal. 22)
Bentuk (-nya)
termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (Gadis),
karena (Gadis) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora
yang bersifat katafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang disebutkan sesudahnya)
4)
“Kamu aman disini.” Lelaki tambun itu
benar-benar menangkap apa yang Gadis khawatirkan. (hal. 22)
Bentuk (Kamu) termasuk
persona II. Pemakaian (Kamu) mengacu pada (Gadis), karena (Gadis)
adalah orang yang di ajak bicara. Memiliki persona endofora yang bersifat
katafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang disebutkan sesudahnya)
5)
“Tuhan… inikah yang Engkau rencanakan untukku?”
batin Gadis. (hal. 22)
Bentuk (-Ku)
termasuk persona I. Pemakaian (-Ku) mengacu pada (Gadis), karena
(Gadis) adalah pembicara/ berbicara pada diri sendiri. Memiliki persona
endofora yang bersifat katafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang
disebutkan sesudahnya)
6)
“Sekarang Kamu makan. Lalu bersihkan badan. Saya sudah belikan baju untuk Kamu pakai.” Sesaat setelah menyelesaikan kalimatnya Ia pun berlalu meninggalkan Gadis yang masih duduk membisu
dibalut kebingungan. (hal. 22)
Bentuk (Kamu) termasuk
persona II. Pemakaian (Kamu) mengacu pada (Gadis), karena (Gadis) adalah
orang yang diajak bicara. Memiliki persona endofora yang bersifat katafora
(karena mengacu kepada satuan lingual yang disebutkan sesudahnya)
7) “Saya dimana?” tanya Gadis ketakutan.
Bentuk (Saya)
termasuk persona I. Pemakaian (Saya) mengacu pada (Gadis), karena
(Gadis) adalah pembicara / berbicara pada diri sendiri. Memiliki persona
endofora yang bersifat katafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang
disebutkan sesudahnya)
Pada pengacuan endofora yang bersifat katafora,
jelas terlihat pada contoh diatas, bahwa pengacuan endofora sifat katafora banyak terselip
dalam kalimat dialog. Penulis menekankan karakter-karakter tokohnya pada
penggalan dialog antar tokoh. Selain itu, pada setiap dialog disebutkan siapa
yang menuturkan dialog tersebut, sehingga aspek pengacuan persona dapat
ditemukan hampir seluruh kalimat data dalam wacana.
2.
Pembahasan
Penggunaan aspek gramatikal menjadi dominasi
dalam wacana cerpen Gadis Bukan Perawan, hal
ini memiliki beberapa latar belakang yang beralasan. Pertama, cerpen ini
merupakan sebuah wacana naratif yang memiliki ruang lingkup kecil,
dengan pengungkapan alur cerita yang didominasi oleh pengunaan dialog-dialog
singkat. Dan dengan tokoh atau karakter yang sama dari awal hingga akhir
cerita. sehingga untuk menghindari penyebutan kembali nama karakter yang sama
secara berulang, penulis cerpen lebih banyak menggunakan pronominal persona
atau panggilan karakter tokoh secara umum.
Selain itu, dalam setiap dialog disebutkan siapa
yang menuturkan dialog tersebut, sehingga aspek pengacuan persona dapat
ditemukan dihampir seluruh kalimat data dalam wacana. Secara khusus alasan
penggunaan aspek pengacuan yang mendominasi ini adalah sebagai upaya pengarang
untuk memperkenalkan karakter dari tokoh-tokoh ceritanya. Hal ini dilakukan
dengan cara menyebutkan nomina atau frasa nomina tertentu yang merujuk pada
karakter cerita secara berulang-ulang. Penyebutan nomina dan frasa nomina
sebagai unsur acuan ini hampir selalu diikuti oleh penggunaan pronomina
persona yang merupakan unsur kohesinya.
Berdasarkan hasil analisis pada wacana cerpen Gadis Bukan Perawan dapat disimpulkan bahwa pengarang memberikan
kemudahan bagi pembaca untuk menginterpretasikan makna cerita dan karakter
tokoh, karena dalam cerpen ini pengarang sudah banyak berkomentar dan
mendeskripsikan dengan jelas situasi cerita melalui penyebutan beberapa nomina
secara berulang-ulang. Selain itu, adanya beberapa dialog berfungsi untuk
memberikan penguatan atau mempertegas karakter tokoh pada rangkaian paragraf deskripsi.
Banyaknya pengacuan endofora bersifat anafora yang mendominasi
aspek pengacuan dalam wacana cerpen Gadis
Bukan Perawan, dapat dipahami karena beberapa alasan. Pertama wacana ini
berupa cerpen yang tersusun atas kalimat-kalimat deskriptif yang saling
berhubungan dan memiliki keterkaitan satu sama lainnya membentuk paragraf-paragraf. Dengan
beberapa tokoh atau karakter yang relatif sama dari awal hingga akhir cerita,
membuat penyebutan para karakter (setelah penyebutan nama karakter), penulis
lebih banyak menggunakan pronomina persona. Akan tetapi, terkadang penulis juga
menggunakan panggilan lain sebagai pronominal persona seperti, Kakak, Ade,
Lelaki dan Perempuan.
Yang kedua, semua pengacuan persona berupa
dalam cerpen Gadis Bukan Perawan
merupakan pengacuan yang bersifat endofora anafora, yakni unsusr acuan atau antesendennya
berada disebelah kiri atau telah disebutkan sebelumnya. Kemudian, untuk
dialog-dialog yang mengisi setiap paragraf pada cerpen ini berperan sebagai penguatan
atas karakter tokoh yang dideskripsikan pada paragraf sebelunya. Pada dialog-dialog ini pengacuan
persona endofora yang bersifat katafora lah yang mendominasi. Maksudnya untuk
memperjelas siapa yang berdialog dalam teks tersebut, sehingga dapat terlihat
karakter-karakter tokoh melalui dialog yang diujarkannya.
E.
Penutup
Berdasarkan
penjelasan hasil analisis data maka dapat disimpulkan bahwa dalam wacana cerpen Gadis Bukan Perawan ditemukan dua aspek
kohesi gramatikal berupa pengacuan, yaitu pengacuan persona endofora yang
bersifat anafora dan katafora. Jumlah total pengacuan persona 130, berupa anafora dan
katafora. Kemudian mengenai wacana cerpen, bahwa untuk memahami sebuah wacana
tidak terlepas dari keterkaitan antara teks dan konteks. Analisis wacana ini
membuktikan teks dan konteks adalah dua hal tidak dapat terpisahkan dalam
sebuah wacana. Hal ini membuktikan pendapat dari Halliday dan Hasan (1992: 66)
yang menyatakan bahwa setiap bagian teks sekaligus merupakan teks dan konteks, dalam
memusatkan perhatian pada bahasa kita harus sadar akan adanya kedua fungsi itu.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2007. Kajian Bahasa : Sturktur internal,
pemaknaan, dan pemelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Odien R dan
Suherlan. 2004. Ikhwal Ilmu Bahasa dan Cakupannya. Serang: Untirta Press
Moloeng, Lexy J. 2005. Metodelogi
Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya
Halliday, M.A.K & Hasan. 1992. Bahasa,
Konteks, dan Teks: Aspek-aspek bahasa dalam pandangan semiotik sosial. Terjemahan (1992). Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press.
Halliday, M.A.K & Hasan. 1976. Cohesion
in English. London: Longman House.
Pusat
Bahasa. 2008. Buku Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional
Nurgiantoro, Burhan.
2012. Teori Pengkaji Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada Uneversity Pres
Hasan, Alwi. 1998. Tata
bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi
3. Jakarta: Balai Pustaka
Ervina, Jenny. 2010.
Gadis Bukan Perawan. Serang: Gong Publishing
goood
BalasHapus