Sabtu, 30 Maret 2013

Tugas kajian stilistika


Kajian Stilistika Dalam Kumpulan Cerpen Mereka Bilang Saya Monyet (Mereka Bilang Saya Monyet, Lintah dan Melukis Jendela)
            Karya Djenar Maesa Ayu

LATAR BELAKANG MASALAH
Trend sastra perempuan yang kian “bertelanjang” mengguncang dunia kepenulisan kreatif (terutama penulisan prosa cerpen dan novel) dan sekaligus jadi penanda muncul suatu genre sastra baru yang lebih “berani” dan “terbuka” membuat “merangsang” minat dan apresiasi sastra pada umumnya.  Ketelanjangan yang nyaris jadi mencolok  Oleh karenanya sebagian pengamat sastra yang agak sentimentil justru memplesetkan estetika (cara ucap) baru tersebut menjadi estetika “saru” (jorok) karena tanpa malu-malu menggumbar kata-kata yang dulu dianggap tabu menjadi kata-kata yang biasa saja. Seperti halnya Djenar yang mengangkat tema yang berbau-bau seks dan dalam pemilihan kata (diksi) dan  gaya bahasa yang digunakan bisa dibilang tinggi, dalam pemilihan kata djenar lebih berani dalam menggunakan simbol-simbol dalam cerpennya.
Dalam buku ini Djenar menulis 11 cerpen (9 diantaranya udah dimuat di media cetak nasional) dengan judul yang menarik pembacanya antara lain: Mereka Bilang, Saya Monyet!, Lintah, Durian, Melukis Jendela, SMS, Menepis Harapan, Waktu Nayla, Wong Asu, Namanya…, Asmoro, dan Manusya dan Dia. Kebanyakan dari 11 tema cerpen yang tertera, Djenar lebih banyak bercerita tentang hal ikhwal anak-anak remaja (sangat remaja) yang tidak bahagia dalam keluarga karena tak ada perhatian dari orang tuanya. Temanya, tentang kemunafikan, atau berkisar tentang pelecehan seksual oleh orang tua dalam keluarga dan lingkungan sekaligus Djenar mengekspos bagaimana respon atau pun akses dari si korban pelecehan. Namun saya mengambil tiga judul cerpen untuk  dikaji dengan menggunakann kajian stilistika yaitu diantaranya: Mereka Bilang Saya Monyet, Lintah, Melukis Jendela.

TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Cerpen
Cerita pendek atau cerpen merupakan salah satu karya sastra yang habis dibaca sekali duduk. Menurut Soeharianto (1982: 39), cerpen adalah wadah yang biasanya dipakai oleh pengarang untuk menyuguhkan sebagian kecil saja dari kehidupan tokoh yang paling menarik perhatian pengarang.
Menurut  Soeharianto (1982) cerita pendek bukan ditentukan oleh banyaknya halaman untuk mewujudkan cerita tersebut atau sedikit tokoh yang terdapat di dalam cerita itu, melainkan lebih disebabkan oleh ruang lingkup permasalahan yang ingin disampaikan oleh bentuk karya sastra itu. Jadi jenis cerita yang pendek belum tentu dapat digolongkan menjadi cerita pendek, jika ruang lingkup permasalahannya tidak memenuhi persyaratan sebagai cerpen. 
Media yang digunakan oleh cerpen untuk menyampaikan pikiran pengarang adalah bahasa. Bahasa dalam karya sastra merupakan lambang yang mempunyai arti yang ditentukan oleh perjanjian atau konvensi dari masyarakat. Bahasa yang digunakan di dalam karya sastra cenderung menyimpang dari kaidah kebahasaan, bahkan menggunakan bahasa yang dianggap aneh atau khas. Penyimpangan penggunaan bahasa dalam karya sastra, menurut Riffaterre (dalam Supriyanto, 2009: 2) disebabkan oleh tiga hal yaitu displacing of meaning (penggantian arti), dan creating of meaning (perusakan atau penyimpangan arti), dan creating of meaning (penciptaan arti). 
Oleh karena banyak penyimpangan arti di dalam karya sastra, maka pengamatan atau pengkajian terhadap karya sastra (cerpen) khususnya dilihat dari gaya bahasanya sering dilakukan. Pengamatan terhadap karya sastra (cerpen) melalui pendekatan struktur untuk menghubungkan suatu tulisan dengan pengalaman bahasanya disebut sebagai analisis stilistika. 
Salah satu cerpen yang sangat menarik untuk dikaji menggunakan analisis stilistika adalah cerpen Mereka Bilang Saya Monyet karya Djenar Maesa Ayu. Cerpen ini menarik untuk dikaji karena mengandung banyak majas (gaya bahasa) dan bahasa kiasan.
Stilistika
1.        Pengertian gaya bahasa
Keraf (2009:112) Gaya atau khusunya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style. Kata style diturunkan dari kata Latin stilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Keahlian menggunakan alat ini akan mempengaruhi jelas tidaknya tulisan pada lempengan tadi. Kelak pada waktu penekanan dititk beratkan pada keahlian untuk menulis indah, maka style lalu berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis dan mempergunakan kata-kata secara indah. 
Karena perkembangan itu, gaya bahasa atau style menjadi masalah atau bagian dari diksi atau pilihan kata yang mempersoalkan cock tidaknya pemakaian kata, frasa atau kalusa tertentu untuk menghadapi situasi tertentu. Sebab itu, persoalan gaya bahasa meliputi semua hirarki kebahasaan: pilihan kata secara indvidual, frasa, klausa, dan kalimat, bahkan mencakup pula sebuah wacana secara keseluruhan. Malahan nada yang tersirat di balik sebuah wacana termasuk pula persoalan gaya bahasa. Jadi jangkauan gaya bahasa sebenarnya sangat luas, tidak hanya mencakup unsur-unsur kalimat yang mengandung corak-corak tertentu, seperti yang umum terdapat dalam retorika-retorika klasik.
Walaupun kata style berasal dari bahasa latin, orang yunani sudah mengembangkan sendiri teori-teori mengenai style itu. Ada dua aliran yang terkenal, yaitu:
a)        Aliran Platonik: menganggap style sebagai kualitas suatu ungkapan; menurut mereka ada ungkapan yang memiliki style, ada juga yang tidak memiliki style.
b)        Aliran Aristoteles: menganggapan bahwa gaya adalah suatu kualitas yang inheren, yang ada dalam tiap ungkapan.
Dengan demikian, aliran Plato mengatakan bahwa ada karya yang memiliki gaya dan ada karya yang sama sekali tidak memilki gaya. Sebaliknya, aliran Aristoteles mengatakan bahwa semua karya memilki gaya, tetapi ada karya yang memilki gaya yang tinggi ada yang rendah, ada karya yang memiliki gaya yang kuat ada yang lemah, ada yang memilki gaya yang baik ada yang memilki gaya yang jelek.
Bila kita melihat gaya secara umum,  kita dapat mengatakan bahwa gaya adalah cara mengungkapkan diri sendiri, entah melalui bahasa, tingkah laku, berpakaian, dan sebagainya. Dengan menerima pengertian ini, maka kita dapat mengatakan, “Cara berpakaiannya menarik perhatian orang banyak”, “Cara penulisannya lain daripada kebanaykan orang”, “ Cara jalannya lain dari yang lain”, yang memang sama artinya dengan “gaya berpakaian “ , “gaya menulis “ dan “gaya berjalan”. Dilihat dari segi bahasa, gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa. Gaya bahasa memungkinkan kita dapat menilai pribadi, watak, dan kemampuan sesorang yang mempergunakan bahasa itu. Semakin banyak gaya bahasanya, semakin baik pula penilaian orang terhadapnya: semakin buruk gaya bahasa sesorang, semakin buruk pula penilaian diberikan padanya.
Akhirnya style atau gaya bahasa dapat dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperhatikan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Seperti halnya dengan djenar dalam kumpulan cerpennya yang berjudul Mereka Bilang Saya monyet, dalam gaya penulisannya  djenar  lebih berani, dan bahasa ynag digunakannya pun tinggi sehingga kita sebagai pembaca akan mengalami kesulitan dalam memahami cerita yang ditulisnya dan langkah baiknya kita membaca dengan berulang-ulang.
PEMBAHASAN
Dari kumpulan cerpen mereka bilang saya monyet karya Djenar Maesa Ayu, saya mengambil tiga macam cerpen untuk dijadikan bahan kajian stilistika, yaitu diantaranya Mereka bilang, Saya Monyet, Lintah, Melukir Jendela. Dari  ketiga cerpen tersebut menurut saya cocok apabila dikaji menggunkan kajian stilistika yang melihat Djenar dalam menulis ketiga cerpen tersebut menggunakan simbol-simbol atau perumpamaan yang dijadikan senjata untuk menarik pembaca, maka untuk lebih dalam saya akan mengaji kedua cerpen tersebut dengan melihat dari sisi penulis dalam pemilihan kata (diksi) dan begitu pun dari segi gaya bahasa yang digunakannya.dari diksi (pilihan kata) dan gaya bahasa yang mana
Banyak dari cerpen Djenar Maesa Ayu dalam kumpulan Mereka bilang saya Monyet! Ini berkisar atau berlatar belakang ikhwal anak-anak masih sangat remaja yang tidak berbahagia dalam keluarga, karena kurang perhatian dan kasih sayang dari orangtua, atau karena ibu atau ayah yang lebih mementingkan serta asyik dengan diri sendiri, atau karena telah kehilangan orang tua di masa yang sangat muda, berikut pelecehan seksual terhadap sang anak oleh orang dekat dalam keluarga atau oleh lingkungannya (teman sekolah), sekaligus mendedahkan respon atau akibatnya bagi para korban.  
 Dunia anak-anak adalah dunia yang kaya dengan imajinasi. Maka adalah wajar dalam menghadapi penindasan dari ibunya dan sang pacar sang ibu, sang anak dalam cerpen “Lintah” langsung melebih-lebihkan ikhwal, “Ibu saya memelihara seekor lintah “ dan seterusnya ia mendongeng tentang kecintaan sang ibu kepada lintah lebih dari pada diri sang anak, tentang lintah yang bisa membesar menjadi ular atau membelah dirinya menjadi banyak ular, tentang hubungan intim antara lintah itu dengan ibunya, tentang lintah yang itu menggerayangi tubuhnya diam-diam dan memperkosanya. Dan bahkan akhirnya lebih dari itu, sang ibu mengandung karena lintah dan berniat mengawininya hewan tersebut.
Dalam cerpen  “Lintah” imajinasi berperan sebagai  pembesaran terhadap realitas. Dengan pembesaran ini sang anak mengharapkan simpati dari para pendengar kisah, yang mungkin akan membebaskannya dari realitas yang pedih. Berbeda dengan “Lintah”, dalam “Melukis Jendela” Mayra yang tak pernah melihat ibunya dan selalu tidak mendapatkan kasih sayang ayah, berusaha meneylamatkan diri sendiri lewat imajinasi dengan melukis ayah dan ibunnya yang dari imajinasinya itu (lukisan ayah ibu) dia berangan-angan mendapatkan kasih sayang orang tuanya. Gagal dengan lukisan ayah ibu, ia melukis jendela yang memberikan kebebasan kepada dirinya. Lewat lukisan jendela itu ia bisa mendapatkan ventilasi kebebasan perasaan dan bahkan bisa melakukan pembalasan imjinatif teradap teman-teman sekolah yang telah melakukan pelecehan seksual terhadap dirinya.
Lewat lukisan jendelanya itu ia bisa membayangkan atau melihat dunia yang indah sesuai dengan hasratnya. Mayra melukis jendela, masuk dan menemukan dirinya berada di sebuah taman indah penuh warna warni. Dua anak kecil menghapiri dan tersenyum kepadanya. Wajah mereka mirip dengan mayra namun  lebih cantik. Pipi mereka merona merah, kulit mereka putih bersih, baju yang mereka begitu indah dengan mahkota bunga di kepala mereka. Mereka lebih mirip bidadari ketimbang anak manusia. Mayra mengecup mereka dengan lembut dan menuntun mereka menuju pelangi emas bertahtakan mutiara. Seorang lelaki sudah menunggu di sana. Merentangkan tangan untuk memeluk mereka semua”. Akhirnya bisa dikatakan, terinsfirasi lukisan jendelanya ia mengambil tindakan nyata membebaskan diri dari kenyataan yang menghimpitnya. Ia meninggalkan rumah dan “Mayra tidak pernah kembali”.
Maka wajar jika penggambarannya (imajinasi) “Lintah” mendapatkan pemebesaran (Hyperbolic) dan cenderung karikatural seperti tampak dalam mereka bilang, saya monyet!” dimana orang-orang munafik digambarkan sebagai hewan aneh. Bila dalam “Lintah”  sang “saya” tidak bisa melakukan perlawanan yang berarti, sang “saya” dalam cerpen ini mungkin karena tokohnya lebih dewasa bisa melakukan perlawanan dan melepaskan diri dari suasana munafik yang ditemuinya. “Tapi saya juga tahu, pesta kemerdekaan saya baru akan dimulai”.
Melukis  jendela  jika terapi ini gagal, imajinasi terasa menjadi lebih pahit dibanding realitas itu sendiri, sebagaimana diceritakan mayra lebih membenci lukisan ayah ibu yang diciptakan dibanding kegetiran yang dirasakannya dari kenyataan bahwa ia kehilangan (kasih) ibu dan kemesraan kasih sayang ayah).
Yang unik dalam  cerpen ini (MBSM), orang-orang munafik digambarkan seperti  hewan aneh:

kebutuhan saya untuk buang air kecil semakin mendesak. Saya mnegetuk pintu kamar mandi pelan-pelan, tidak ada jawaban tidak ada suara air dan tidak ada suara mengedan. Saya mendengar desahan tertahan. Desahan itu berangsur diam. Saya mengintip lewat lubang kunci bersaman dengan pintu dibuka dari dalam. Sepasang laki-laki dan perempuan keluar dari kamar mandi Yang laki-laki lantang memaki “dasar binatang! Dasar monyet ! Gak punya otak ngintip-ngintip orang!”. Seharusnya saya menghjar laki-laki berkepala buaya dan berekor kalajengking itu…”. (hal.3)

Kreatif  dalam pemilihan ide diksinya,  realitanya terkadang  binatang jauh lebih ”manusiawi” dan manusia seringkali berkelakar layaknya ”binatang”, dalam cerpen ini memberi perlawanan atas suasana kemunafikan yang ditemuinya. Menarik membaca cerpen ini karena dengan penghayatannya. Djenar mampu menggambarkan sosok-sosok munafik yang sejatinya memang terhampar di depan mata kita.

Penelitian stilistika menaruh perhatian pada penggunaan bahasa dalam karya sastra. Persoalan yang menjadi fokus perhatian stilistika adalah pemakaian bahasa yang menyimpang dari bahasa sehari-hari, atau disebut bahasa khas dalam wacana sastra. Penyimpangan penggunaan bahasa bisa berupa penyimpangan terhaap kaidah bahasa, banyaknya pemakaian bahasa daerah, dan pemakaian bahasa asing atau unsur-unsur asing. Penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan tersebut diduga dilakukan untuk tujuan tertentu.
Pusat perhatian stilistika adalah penggunaan bahasa (gaya bahasa) secara literer dan sehari-hari. Sebagai stylist, seseorang harus mampu menguasai norma bahasa pada masa yang sama dengan bahasa yang dipakai dalam karya sastra. Penggunaan gaya bahasa juga diarahkan oleh bentuk karya sastra yang ingin dihasilkan. Misalnya, gaya penataan prosa fiksi (cerpen) berbeda dengan gaya penataan bentuk puisi. Dalam cerpen, selain fokus dalam alur cerita, penulis dapat menggunakan gaya bahasa dan bahasa kiasan agar cerpen yang dihasilkan  lebih hidup dan menarik pembaca.
Salah satu cerpen yang sarat dengan gaya bahasa dan bahasa kiasan adalah kumpulan cerpen Mereka bilang saya Monyet karya Djenar Maesa Ayu. Hampir semua barisnya menggunakan kata kiasan sehingga pembaca diajak untuk menikmati kalimat demi kalimat, bukan hanya menikmati alur ceritanya saja. Gaya bahasa dan bahasa kiasan yang terdapat di dalam cerpen  Mereka bilang saya Monyet karya Djenar Maesa Ayu antara lain Paralelisme, hiperbola, simile, metafora, dan personifikasi.
GAYA BAHASA BERDASARKAN LANGSUNG TIDAKNYA MAKNA
a.Gaya Bahasa Retoris
1.    Hiperbola
Hiperbola
adalah semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal.  Gaya bahasa hiperbola yang antara lain:
“ Ular itu menyergap, melucuti pakaian saya, menjalari satu persatu lekuk tubuh saya. Melumat tubuh saya yang belum berbulu dan bersusu, dan menari-nari di atasnya memuntahkan liur yang setiap tetesnya berubah menjadi lintah……” (hal.17)

 “Saling erat, saling mengaduh, hingga senja tiba dan pasang ombak menghanyutkan tubuh mereka ketengah”. (hal 38)

“bayangan rambut hitam laki-laki yang tergerai hingga dada menari-nari tertiup angin diatas kuda putih tak berpelana. (hal. 38)

“Laki-laki berkuda dengan dad bidang dan berkulit coklat kemerah-merahan terbakar surya untuk menjemputnya”. (hal. 38)

“Mayra mengecup mereka dengan lembut dan menuntun mereka menuju pelangi bertahtakan mutiara” (hal. 41)

“saya memperhatikan bayangan diri saya di dalam cermin dengan cermat. Saya berkaki dua, berkepala manusia, tapi menurut mereka saya adalah seekor binatang.” (hal. 3)
Dan saya sangat kaget melihat seekor ular yang merah menyala” (hal.12)

”Ibu saya memelihara seekor lintah “ (hal.11)

“ Darah segar meleleh dari dalam hidungnya” (hal. 32)

“ Sepanjang hidup saya melihat manusia berkaki empat” (hal. 1)


b.    Gaya Bahasa Kiasan
Gaya bahasa kiasan ini pertama-tama dibentuk berdasarkan perbandingan atau persamaan. Membandingkan sesuatu dengan sesuatu hal yang lain, berarti mencoba menemukan ciri-ciri yang menunjukan kesamaan antara kedua hal tersebut. Perbandingan sebenarnya mengandung dua pengertian, yaitu perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa yang polos atau langsung, dan perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa kiasan.  Perbandingan dengan analogi ini kemudian muncul dalam bermacam – macam gaya bahasa kiasan, seperti diuraiakan di bawah ini.
Di samping gaya bahasa, Djenar Maesa Ayu juga menggunakan bahasa kiasan untuk menekankan makna dan mempertahankan unsur estetis. Bahasa kiasan yang terdapat pada cerpen tersebut ada beberapa bahasa kiasan di antaranya:
a.      Persamaan atau simile
Persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. Yang dimaksud dengan perbandingan yang bersifat eksplisit ialah bahwa ia langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Untuk itu, ia memerlukan upaya yang secara eksplisit menunjukkan kesamaan itu, yaitu kata-kata: seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana, dan sebagiannya. Gaya bahasa kiasan Simile diantaranya:
 “Saya hajar mukanya seperti apa yang saya harapkan sebelumnya” (hal.10)
“ Namun sikap duduk mereka masih sama seperti ketika pertama kali mereka datang ke kafe ini” (hal.5)
“Ia membayangkan laki-laki itu meraba payudaranya yang mulai tumbuh seperti yang pernah ia rasakan di kantin sekolah”. (hal. 38)
“Semuanya sunyi dan hening sama seperti ketika Mayra terjaga dari mimpinya”. (hal. 36)”
“Beberapa menit yang lalu ia tiba di sekolah dan seperti biasa lima anak berandalan itu mencegatnya di pintu pagar”. (hal. 39)
“Tidak seperti biasa, kamar itu tidak terkunci”. (hal. 41)
Sebagai anak tunggal ia menghabiskan banyak waktu hanya dengan melamun tanpa seorang pun untuk diajak bicara. (hal. 31)
“Seperti kerbau dicucuk hidungnya mereka mengikuti langkah Mayra menuju kantin”. (hal.39)

b.      Metafora
adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat: bunga bangga, buaya darat, buah hati, cindera mata, dan sebaginya. Bahasa kiasan metafora yang terdapat pada cerpen mereka bilang saya monyet antara lain:
“Kata mereka saya adalah seekor monyet” (hal. 3)
“ Saya sudah terbiasa menelan rongsokan tanpa dikunyah lebih dulu”. (hal.4)

“Dengkurannya sangat menggangu dan bau tidak sedap menyergap seisi ruangan itu” (hal. 13)
“Lintah akan kembali berubah menjadi ular-ular kecil dan menari gembira” (hal.13)
“Ular itu lalu berangsur-angsur mengecil” (hal.13)
c.       Personifikasi atau prosopopoeia
Personifikasi atau prosopopoeia adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tak bernyata seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Personifikasi (penginsanan) merupakan suatu corak khusus dari metafora, yang mengiaskan benda-benda mati bertindak, berbuat, berbicara seperti manusia. Bahasa Kiasan Personifikasi dalam cerpen melukis jendela karya Djenar Maesa Ayu antara lain:
“Sebuah jendela besar tanpa tirai menghadap ke sebuah dunia yang ia inginkan. Ia sering masuk ke dalam jendela itu lalu menemukan dirinya terbaring di hamparan hangat pasir putih dan riak ombak menggelitik pucuk jari kakinya” (hal. 38) 
“Disambut dengan kelengangan dan kesejukan dari dalam rumahnya yang ber AC, ia akan segera masuk kamar dan menghabiskan waktu bercakap-cakap dengan lukisan itu” (hal. 31)










PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam membuat cerpen, Djenar Maesa Ayu sangat memperhatikan nilai estetisnya sehingga banyak ditemukan gaya bahasa dan bahasa kiasan. Walaupun gaya bahasa yang digunakan Djenar sedikit vulgar dan sedikit berani. Ini yang membedakan Djenar dengan penulis yang lain.
Dari ketiga cerpen yang dianalisis, dari segi gaya bahasa retoris lebih banyak pada gaya bahasa hiperbola dan Simile. Gaya bahasa hiperbola banyak ditemui dalam cerpen Lintah dan Melukis Jendela, karena dari kedua cerpen tersebut Djenar lebih berimajainasi dan banyak menggambarkan tokoh  dalam bahasa yang digunakannya yaitu bahasa kiasan. Gaya bahasa dan bahasa kiasan tersebut berfungsi memberikan efek estetis atau keindahan. Hal ini menjadikan karya Djenar menjadi lebih hidup dan berbeda dengan karya lainnya.






DAFTAR PUSTAKA
Keraf, Gorys, 2009. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Ayu, Djenar Maesa. 2002. Mereka Bilang Saya Monyet. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Suharianto, S. 1982. Dasar-dasar Teori Sastra. Surakarta: Widya Duta
Supriyanto, Teguh. 2009. Stilistika dalam Prosa. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar