Senin, 01 April 2013

makalah penelitian sosiolinguistik


INTERFERENSI DAN CAMPUR KODE DI LINGKUNGAN KOSAN

BAB I  PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Bahasa sebagai alat komunikasi dan alat interaksi yang hanya dimiliki oleh manusia, bahasa dapat dikaji secara internal maupun secara eksternal. Kajian secara internal, artinya, pengkajian itu hanya dilakukan terhadap struktur intern bahasa itu saja, seperti struktur fonologisnya, struktur morfologisnya, atau struktur sintaksisnya. Kajian secara internal ini akan menghasilkan bahasa itu saja tanpa ada kaitannya dengan  masalah lain diluar bahasa. Kajian internal ini dilakukan dengan menggunakan teori-teori dan prosedur-prosedur yang ada dalam disiplin linguistik saja. Sebaliknya, kajian secara eksternal, berarti, kajian itu dilakukan terhadap hal-hal atau faktor-faktor yang berada di luar bahasa yang berkaitan dengan pemakaian bahasa itu oleh para penuturnya didalam kelompok-kelompok sosial kemasyarakatan. Pengkajian secara eksternal ini akan menghasilkan rumusan-rumusan atau kaidah-kaidah yang berkenaan dengan kegunaan dan penggunaan bahasa tersebut dalam segala kegiatan manusia didalam masyarakat. Pengkajian secara eksternal ini tidak hanya menggunakan teori-teori dan prosedur linguistik saja, tetapi juga menggunakan teori dan prosedur disiplin lain yang berkaitan dengan penggunaan bahasa itu, misalnya disiplin sosiologi, disiplin psikologi, dan disiplin antropologi. Oleh karena itu, ilmu bahasa tidak lekang dengan disiplin lain. karena bahasa sangat dekat dengan kehidupan masyarakat, maka tidaklah heran ilmu bahasa dan sosiologi bersatu menjadi sosiolinguistik.

B.     RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan permasalahan yang diangkat sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah bentuk Campur Kode pada rekaman 1?
2.      Bagaimanakah bentuk Interferensi pada rekaman 1?

C.    TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1)      Mendeskripsikan bentuk Campur kode pada rekaman 1.
2)      Mendeskripsikan bentuk Interferensi pada rekaman 1.

D.    MANFAAT PENELITIAN
Diharapkan hasil penelitian  ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1)      Menambah wawasan dalam mengkaji suatu bahasa dari peristiwa tutur.
2)      Memberikan masukan bagi mereka yang tertarik dengan masalah sosiolinguistik dan Sebagai bahan referensi dan sumber informasi untuk penelitian sejenis.
BAB II LANDASAN TEORI
A.    Kajian Teori
a.       Pengertian Sosiolinguistik
Sosiolinguistik merupakan gabungan dari kata sosiologi dan linguistik. Sosiologi adalah kajian yang objektif dan ilmiah mengenai manusia dalam masyarakat dan mengenai lembaga-lembaga serta proses sosial yang ada di dalam masyarakat (Chaer dan Agustina, 1995:3). Dalam Aslinda dan Syafiahya. Liguistik adalah ilmu bahasa atau bidang yang mengambil bahasa sebagai objek kajian. Dengan demikian sosiolinguistik merupakan bidang ilmu antar disiplin yang mempelajari bahasa di dalam masyarakat.
Sosiolinguistik memandang sebagai sistem sosial dan sistem komunikasi serta merupakan bagian dari masyarakat dan kebudayaan tertentu, sedangkan yang dimaksud dengan pemakai bahasa adalah bentuk interaksi sosial yang terjadi dalam situasi konkter. Dengan demikian, bahasa tidak dilihat secara internal, tetapi dilihat sebagai sarana interaksi atau komunkasi di dalam masyasarakat.
Dalam masyarakat, seseorang tidak lagi dipandang sebagai individu yang terpisah, tatapi sebagai anggota dari kelompok sosial. Oleh karena itu, bahasa dan pemakaian tidak diamati secara individual, tetapi dihubungkan dengan secara sosial. Bahasa dan pemakaiannya yang dipandang secara sosial dipengaruhi oleh faktor linguistik dan faktor nonlinguistik.
b.      Pengertian Campur Kode
(Chaer dan Agustina, 2004:114) Campur kode (code mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan untuk mendukung suatu tuturan yang disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Gejala campur kode ini biasanya terkait dengan karakteristik penutur, misal, latar belakang sosil, pendidikan, kepercayaan, dan sebagainya. Dalam keseharian, masyarakat Indonesia yang multilangual, kita sering sekali mendengar peristiwa campur kode ini.
Di dalam campur kode ada sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode. Seorang penutur misalnya, yang dalam berbahasa Indonesia banyak menyelipkan serpihan-serpihan bahasa daerahnya, bisa dikatakan telah melakukan campur kode.
c.       Pengertian Interferensi
Menurut Chaer (2004:120) istilah interferensi pertama kali digunakan oleh Weinrich untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Interferensi mengacu pada adanya penyimpangan dalam menggunakan suatu bahasa dengan memasukkan sistem bahasa lain. Serpihan-serpihan klausa dari bahasa lain dalam suatu kalimat bahasa lain juga dapat dianggap sebagai peristiwa interferensi. Sedangkan, menurut Hartman dan Stonk (1972:115) dalam Chaer tidak menyebutnya “pengacauan” atau “kekacauan, melainkan “kekeliruan”, yang terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu atau diaek ke dalam bahasa atau dialek kedua.

BAB III METODE DAN TEKNIK PENELITIAN
A.    Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2005:4), penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriftif yang berupa kata-kata atau lisan objek yang diamati. Metode ini dilakukan dengan tidak menggunakan angka-angka, tetapi menggunakan penghayatan terhadap interaksi antarkonsep yang sedang dikaji secara emiris. Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan atau objek penelitian berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.
Metode penelitian tersebut digunakan untuk berfokus pada dialog-dialog atau ujaran dari kata-kata yang dipakai oleh si penutur.

B.     Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dengan cara merekam pembicaraan sesorang yang diteliti, dari pembicaraaan tersebut kemudian dialog-dialog penutur ditulis dan diamati dengan melihat kata-kata apa saja yang dipakai ketika bertutur.  Data yang diambil dari hasil percakapan dikalangan mahasiswa yang sedang bertutur dengan temannya, percakapan tersebut berlangsung pada siang hari di sebuah kamar kosan perempuan yang membicarakan mengenai masalah keluarganya, percakapan berlangsung berdurasi sekitar 2 menit.

BAB IV  HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.    DESKRIFSI DATA (Hasil rekaman)
Rekaman 1
a.       Waktu       : 14:22 WIB
b.      Tanggal     : 26/12/2012
c.       Tempat      : Di kosan
d.      Topik         : Membicarakan keluarganya
Peristiwa tutur  :
A         : Gue harus bisa kata gw beli apa nih gue.
(Saya harus bisa, mau beli apa ini)
B         : Aing mah boro-boro ceuk aing tea,  “de mamah mah beli baju jeung si nenk, pas dideuleu sabaraha ieu mah? 75rb sasetel”,  ceuk aing tea heeehhh neng iti!!! aing geh teu menta haduh.
( “Apalagi saya” kata saya itu “de mamah beli baju untuk dede bayi ketika dilihat berapa ini mah? 75ribu satu pasang”, kata saya itu haduh dede iti!! Saya juga tidak minta)
A         : Sareukseuk nyah . . . .
(kesel melihatnya)
B         : Hooh,, jengkel mah demi allah, nu nyeseuhan popok, aing. Laju si bapa seneb mah “de ceunah,coba  jing  ieu diseseuhkeun hela, kumaha dia mah nyesuhna teu kabeh”, kan capenya urang, seneb mah dipaido, ya allah ya tuhan.
( Iya, kesel demi Allah, yang nyuci popok, saya! Ditambah bapak bilang “ de” katanya coba ini dicuci dahulu, bagaimana kamu, menucucinya tidak semuanya” kita kan cape, kesel di marahi saja, ya Allah ya Tuhan)
A         : Orok mah ganti-ganti bae.
(kalau bayi itu sering ganti-ganti saja)
B         : Heeh, teteh aing mararahan “geus eta geura diseseh”. Ceuk  mamah aing “Ges ulah loba keneh ditoko, urang meli bae”. Ceuk aing tea edan sombong dia, sekebel emak aing meuli baju eta mah salamari orok  ngaborong .
(Iya, kakak saya marah-marah “udah itu cepat dicuci”. Kata ibu saya “ udah jangan, masih banyak di toko, kita beli saja”. Kata saya itu hebat sekali, selama ibu saya beli baju itu seperti satu lemari bayi, belanja banyak)
A         : Itu juga teteh gw. “geus sih asal ada syarat ajah”, kata gw “ada neneknya ada bapaknya buru-buru amat”, enek.
(Itu juga kakak saya “ udah asal ada syarat saja” kata saya. Masih ada neneknya, ada kakeknya cepet-cepet sekali)
B         : Aing geh enek, mah aing mah teu dibeulikeun baju. “Kebae ate” mah. Masyaallah
(Saya juga kesel. “Mah saya juga tidak dibelikan baju. “nanti saja tante” Masyaallah)
A         : Adik gue ajah engga suka dibeliin baju, kasian loh.belinya apa coba teteh gue  ajah sama suaminya, bloon kan, najis ceuk aing  naon meren.
(Adik saya saja tidak suka dibelikan baju, kasihan. Belinya hanya kakak saya saja sama suaminya, bodoh kan, najis kata saya apa kali.)  
A         : Laju enek mah,  ogoan  maruriang, naon coba daharna  geh jatake bae, iraha dararia cageurna, cape aing nyesuhan bae, enek gue mah
( kesel, manja sakit juga makannya jatake saja, kapan sembuhnya, cape saya nyuci saja. Kesel itu )
B         : Teteh aing geh sarua, kamari beak 20juta lebih dia..
(kakak saya juga sama, kemarin habis 20juta lebih)
A         : Kunaon???
 (Kenapa???)
B         : Ngalahirkeun,, pertama kan perutna kontraksi bae anakna hanyang kaluar, terus ngalahirkeun disesar dan seminggu kemudian setelah disesar teteh aing di kiret..
(Melahirkan, pertama perutnya kontrasi saja, bayinya ingin keluar, setelah itu melahirkan di sesar dan seminggu kemudian setelah disesar kakak saya dikiret)
A         : Ko dikiret??..
(Kenapa dikiret)
B         : Uterusna teu kabawa, “lupa” ceuk dokterna kandungana teu dikaluarkeun”, apa gitu tempat apanya gitu engga kebawa.
(Uterusnya tidak terbawa, “lupa” kata dokter kandungannya tidak dikeluarkan”, apa gitu tempat apanya gitu tidak terbawa)
A         : Gue mah kenapa sih keluarga suaminya, suaminya ke yang gimana, itu mah orang tua gue lagi, orang tua gue lagi hewa aing mah
(Saya itu, kenapa gitu dengan keluarga suaminya, suaminya coba yang harus bagaimana, masa orang tua saya lagi, orang tua saya lagi, benci )
A         : Sekarang gua  dikekeyek coba , gua engga boleh sama orang kayak gitu lagi, kayak teteh gue. Kata gue “itu mah salah sndiri milih orang kayak gitu”.
(Sekarang saya di kekang, tidak boleh sama orang seperti itu lagi, seperti kakak saya. Kata saya “ salah sendiri milih orang seperti itu”)
C         : Ohh engga boleh deket - deket yah..  
(oh, tidak boleh dekat-dekat)
A         : Iyahhh , gue di kasih tau ibu gue, jgn kayak gitu yah ke gue “kenapa nyalahin gue kan”, gue mh udah lama kan sama dia.   Dia mah baru kemaren kata gue, enggak mau kalo suruh kayak gitu.
            (Iya, saya dikasih tahu ibu saya, jangan seperti itu, “kenapa menyalahkan saya”, saya itu sudah lama dengan dia. Kecuali dia, baru kenal kemarin, kata saya, tidak ingin jika kalau diperintah seperti itu )
A         : Sekarang juga dirumah ajah engga ngapa-ngapain.
(Sekarang juga dirumah saja tidak melakukan apa-apa)
            C         : Kerja??
                        (Kerja)
A         : Engga, orang tidur ajah dirumah.
(Tidak, orang tidur saja dirumah)














B.     ANALISIS DATA
1.      Bentuk rekaman Campur Kode.
Terjadi campur kode ketika penutur A berbicara menggunakan B2 yaitu bahasa Indonesia kemudian ditanggapi oleh penutur B dengan B1 yaitu bahasa sunda ragam kasar otomatis penutur A menanggapi pembicaraan tersebut dengan menggunakan B2 yaitu (bahasa Ibu) bahasa sunda ragam kasar. Karena dilatar belakangi oleh daerah asalnya yaitu bahasa daerah (sunda) yang mana ketika si penutur B menanggapi pembicaraan  penutur A dia menggunakan bahasa daerah, yang keduanya sama-sama berasal dari kelompok daerah yang sama. Maka terjadilah unsur campur kode mencamurkan B2 ke B1 yaitu bahasa Indonesia ke bahasa Sunda ragam kasar
Jika dilihat dari percakapan di atas, penutur A memulai pembicaraannya dengan menggunakan bahasa Indonesia yang kemudian ditanggapi oleh penutur B yang menggunakan bahasa sunda ragam kasar. Kemudian penutur A menanggapi pembicaraan penutur B dengan menggunakan bahasa sunda ragam kasar, menyesuaikan bahasa yang digunakan oleh lawan bicaranya dan dilanjutkan kembali menggunakan bahasa Indonesia. Berdasarkan kriteria kegramatikalan, dari awal pembicaraan penutur A mencampurkan bahasa gaul yaitu kata “gue” dengan menyebutkan dirinya. Kemudian dilanjutkan dengan bahasa Indonesia yaitu kata (harus bisa, beli apa). Kata-kata (aing, mah, ceuk, tea, sih, amat). Merupakan serpihan bahasa Sunda ragam kasar yang digunakan penutur A dan B dalam pembicaraannya.  
PENUTUR A
Penutur A yang dalam berbahasa Indonesia banyak menyelipkan serpihan-serpihan bahasa daerahnya yaitu bahasa sunda ragam kasar, untuk lebih jelas dapat dilihat dari ujaran berikut:
A  : Itu juga teteh gue. “geus sih asal ada syarat aja”, kata gue “ada neneknya ada bapaknya buru-buru amat”, enek.
A  : Adik gue aja sekarang mah  engga suka  dibeliin baju, kasian loh.belinya apa coba teteh gue aja sama suaminya, boloon kan, najis aing  naon meren.

Kata-kata yang bercetak tebal merupakan serpihan – serpihan bahasa ragam sunda kasar yang digunakan oleh penutur A. Kata yang bercetak miring merupakan serpihan dari bahasa gaul. Dari peristiwa di atas dapat disimpulkan bahwa penutur A mencampurkan dua bahasa sekaligus secara bersamaan yaitu bahasa gaul dan bahasa sunda ke dalam bahasa Indonesia karena dilatarbelakangi oleh faktor lingkungan dan kebiasaan. Pencampuran serpihan kata (bahasa Indonesia) di dalam bahasa sunda ragam kasar yang digunakan ini merupakan peristiwa campur kode Maka muncul lah ragam bahasa Indonesia yang  kesunda-sundaan yang sedikit menyelipkan bahasa gaul.
PENUTUR B
Sama halnya dengan penutur A yaitu peristiwa  Campur Kode, tapi jika penutur B dalam pembicaraannya banyak mencampurkan serpihan-serpihan bahasa Indonesia ke dalam bahasa Sunda ragam kasar, untuk lebih jelas dapat dilihat dari ujaran berikut:
B  : Ngalahirkeun,, pertama kan perutna kontraksi bae anakna hanyang kaluar, terus ngalahirkeun disesar dan seminggu kemudian setelah disesar teteh aing di kiret..
B  : Uterusna teu kabawa, “lupa” ceuk dokterna kandungana teu dikaluarkeun”, apa gitu tempat apanya gitu engga kebawa.

Kata-kata yang bercetak tebal merupakan serpihan – serpihan bahasa Indonesia yang dicampurkan ke dalam bahasa dominan atau bahasa yang digunakannya yaitu bahasa sunda ragam kasar yang digunakan oleh penutur B. Pencampuran serpihan kata bahasa sunda ragam kasar di dalam bahasa Indonesia yang digunakan merupakan peristiwa campur kode. Maka dari peristiwa di atas dapat disimpulkan bahwa penutur B mencampurkan bahasa Indonesia ke dalam bahasa Sunda ragam kasar. Maka muncul lah ragam bahasa Indonesia yang  kesunda-sundaan.

2.    Bentuk rekaman Interferensi
Dari hasil rekaman di atas jika kita lihat penutur A dalam pembicaraannya terkadang menyelipkan ujaran suatu bahasa terhadap bahasa lain yang mencakup pengucapan dalam tata bentuk kata bidang (Morfologi).
Interferensi ini terjadi dalam pembentuka kata dengan menyerap afiks-afiks bahasa lain. Dapat dilihat dari hasil rekaman di atas yaitu penutur A menyelipkan kata-kata yang menyerap afiks-afiks lain yaitu dengan menyebutkan kata (dibeliin, ngapa-ngapain, nyalahin, kebawa). Jika di lihat pada tingkat morfologi Sufiks (-in) itu tidak ada, ini merupakan kekeliruan yang terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan dalam ujaran bahasa Ibu atau dialek ke dalam bahasa (dialek kedua) dan ini merupakan peristiwa penyimpangan norma dari salah satu bahasa atau lebih.
Ramlan (2009:139) Jika Afiks ke- pada kata di atas, pada umumnya melekat pada bentuk dasar yang termasuk golongan kata bilangan, namun ada juga yang melekat pada bentuk dasar yang bukan kata bilangan, tetapi jumlahnya sangat terbatas, contohnya  kehendak, ketua, kekasih dan ketahu. Pada kata kehendak, ketua dan kekasih, afiks ke- berfungsi membentuk kata nominal, sedangkan pada kata ketahu afiks ke- berfungsi membentuk pokok kata. Maka pada kata kebawa jika afiks ke- dirubah menjadi afiks ter- akan berterima karena afiks ke- telah dijelaskan di atas yaitu tergolong dalam kata bilangan sedangkan kata kebawa bukan tergolong kata bilangan. Oleh karena itu untuk lebih tepat lagi jika kata kebawa dirubah menjadi terbawa, karena afiks ter- termasuk golongan kata kerja
Bentuk-bentuk tersebut dikatakan sebagai bentuk interferensi karena bentuk-bentuk tersebut sebenarnya ada bentuk yang benar, yaitu (dibelikan, disalakan, diam saja, terbawa) namun tidak digunakan sesuai konteksnya. Maka berdasarkan data-data di atas jelas bahwa proses pembentukan kata yang disebut interferensi pada tingkat Morfologi tersebut mempunyai bentuk dasar berupa kosa kata bahasa Indonesia dengan afiks-afiks dari bahasa daerah.
Dilihat dari segi kemurnian bahasa, interferensi pada tingkat apa pun merupakan “penyakit”, sebab “merusak” bahasa. Jadi, perlu dihindarkan. Orang-orang yang berpaham purisme di Indonesia tentu tidak dapat menerima bentuk-bentuk kata seperti kebawa, nyalahin, dibeliin dan ngapa-ngapain. Begitu juga penggunaan unsur bahasa lain dalam bahasa Indonesia dianggap juga sebagai suatu kesalahan.

C.    PEMBAHASAN
Penutur A dan B, yang berbahasa Ibu sama, bercakap-cakap dalam bahasa  Sunda ragam kasar, namun sesekali penutur A dan B melakukan campur kode yaitu ketika penutur B memulai pembicaraan dengan lawan bicaranya  (penutur B) menggunakan bahasa Indonesia, namun ketika ditanggapi oleh penutur B menggunakan bahasa sunda ragam kasar, setelah pembicaraan berlanjut sesekali penutur A mencampurkan bahasa Indonesia ke dalam bahasa Sunda ragam kasar. Namun, berbeda dengan penutur B peristiwa campur kode ketika penutur B mengutip pembicaraan orang lain, penutur B sesekali mencampurkan bahasa Indonesia ke dalam bahasa Sunda ragam kasar yang di pakainya. Dari penjelasan di atas penutur A dan B mengalami peristiwa campur kode karena dilatar belakangi oleh situasi dan kondisi yang terjadi dilingkungannya ketika bertutur.
Berbeda halnya dengan peristiwa Interferensi, berdasarkan hasil rekaman di atas terdapat peristiwa Interferensi yang dilakukan oleh penutur A. Peristiwa Interferensi ini dalam bidang Morfologi, antara lain terdapat pembentukan kata dengan afiks. Chaer (2004:123) Afiks-afiks suatu bahasa digunakan untuk membentuk kata dalam bahasa lain. Masalah ini terjadi dalam bahasa Indonesia ada sufiks-in, maka penutur A bertutur menggunakannya dalam pembentukan kata bahasa Indonesia yaitu pada kata kebawa, beliin, nyalahin . Dalam tingkatan Morfologi Sufiks –in yang dipakai penutur B  itu tidak ada. Bentuk-bentuk tersebut merupakan penyimpangan dari sistematik morfologi bahasa Indonesia. Sebab untuk  proses pembentukan kata dalam bahasa Indonesia ada Sufiks –kan.  seharusnya dibelikan, sufiks MeN- menjadi menyalahkan, dan Prefiks ter- menjadi terbawa.






  BAB V
PENUTUP
Kebebasan penggunaan bahasa yang dilakukan oleh penutur dan lawan tutur di atas semata-mata dilakukan dengan faktor ketidak sengajaan. Pencampuran bahasa atau interfernsi  dilakukan karena dilatar belakangi oleh situasi dan penutur yang sama-sama berasal dari daerah (sunda), penutur A yang mencampurkan bahasa Indonesia ke bahasa sunda di latar belakangi oleh keterbiasaannya dia menuturkannya dengan orang, kemudian sama halnya dengan penutur B yang mencampurkan bahasa sunda ke bahasa Indonesia dilatar belakangi oleh adanya kutipan-kutipan orang yang dia bicarakan, sehingga penutur B mencampurkan bahasa Indonesia ketika mengutip pembicaraan sesorang. Berdasarkan rumusan masalah di atas maka dapat disimpulkan bahwa, kode yang digunakan di lingkungan kostn ketika berbicara tergantung situasi dan siapa lawan. Seperti halnya pada rekaman di atas, terkadang penutur A dan B menyelipkan atau mencapurkan serpihan-serpihan B1 dan B2 ke dalam bahasa dominan. Berbeda halnya dengan Interferensi, karena terbiasa bertutur dengan bersufiks (-in)  maka jika bertutur dengan lawan tuturnya yang lain akan terulangi kembali. Oleh karena itu disebabkan oleh lingkungan sekitar dan tempat tinggalnya yang mengakibatkan terjadinya Interferensi (penyimpangan) bahasa.



DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta
Moloeng, Lexy J. 2005. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya
Aslinda dan Syafyahya. 2010. Pengantar Sosiolinguistik. Bandung: Rafika Aditama.

Ramlan. 2009. Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: C.V. Karyono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar