INTERFERENSI DAN CAMPUR KODE DI LINGKUNGAN KOSAN
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Bahasa sebagai alat komunikasi dan
alat interaksi yang hanya dimiliki oleh manusia, bahasa dapat dikaji secara
internal maupun secara eksternal. Kajian secara internal, artinya, pengkajian
itu hanya dilakukan terhadap struktur intern bahasa itu saja, seperti struktur
fonologisnya, struktur morfologisnya, atau struktur sintaksisnya. Kajian secara
internal ini akan menghasilkan bahasa itu saja tanpa ada kaitannya dengan masalah lain diluar bahasa. Kajian internal
ini dilakukan dengan menggunakan teori-teori dan prosedur-prosedur yang ada
dalam disiplin linguistik saja. Sebaliknya, kajian secara eksternal, berarti,
kajian itu dilakukan terhadap hal-hal atau faktor-faktor yang berada di luar
bahasa yang berkaitan dengan pemakaian bahasa itu oleh para penuturnya didalam
kelompok-kelompok sosial kemasyarakatan. Pengkajian secara eksternal ini akan
menghasilkan rumusan-rumusan atau kaidah-kaidah yang berkenaan dengan kegunaan
dan penggunaan bahasa tersebut dalam segala kegiatan manusia didalam
masyarakat. Pengkajian secara eksternal ini tidak hanya menggunakan teori-teori
dan prosedur linguistik saja, tetapi juga menggunakan teori dan prosedur
disiplin lain yang berkaitan dengan penggunaan bahasa itu, misalnya disiplin
sosiologi, disiplin psikologi, dan disiplin antropologi. Oleh karena itu, ilmu
bahasa tidak lekang dengan disiplin lain. karena bahasa sangat dekat dengan
kehidupan masyarakat, maka tidaklah heran ilmu bahasa dan sosiologi bersatu
menjadi sosiolinguistik.
B.
RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan permasalahan yang diangkat
sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah bentuk Campur Kode pada rekaman 1?
2.
Bagaimanakah bentuk Interferensi pada rekaman 1?
C.
TUJUAN
Berdasarkan
rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1)
Mendeskripsikan bentuk Campur kode pada rekaman
1.
2)
Mendeskripsikan bentuk Interferensi pada
rekaman 1.
D.
MANFAAT
PENELITIAN
Diharapkan
hasil penelitian ini dapat memberikan
manfaat sebagai berikut:
1)
Menambah wawasan dalam mengkaji suatu bahasa
dari peristiwa tutur.
2)
Memberikan masukan bagi mereka yang tertarik
dengan masalah sosiolinguistik dan Sebagai bahan referensi dan sumber informasi
untuk penelitian sejenis.
BAB II LANDASAN TEORI
A.
Kajian Teori
a.
Pengertian
Sosiolinguistik
Sosiolinguistik merupakan gabungan dari kata sosiologi dan
linguistik. Sosiologi adalah kajian yang objektif dan ilmiah mengenai manusia
dalam masyarakat dan mengenai lembaga-lembaga serta proses sosial yang ada di
dalam masyarakat (Chaer dan Agustina, 1995:3). Dalam Aslinda dan Syafiahya.
Liguistik adalah ilmu bahasa atau bidang yang mengambil bahasa sebagai objek
kajian. Dengan demikian sosiolinguistik merupakan bidang ilmu antar disiplin
yang mempelajari bahasa di dalam masyarakat.
Sosiolinguistik memandang sebagai sistem sosial dan sistem
komunikasi serta merupakan bagian dari masyarakat dan kebudayaan tertentu,
sedangkan yang dimaksud dengan pemakai bahasa adalah bentuk interaksi sosial
yang terjadi dalam situasi konkter. Dengan demikian, bahasa tidak dilihat
secara internal, tetapi dilihat sebagai sarana interaksi atau komunkasi di
dalam masyasarakat.
Dalam masyarakat, seseorang tidak lagi dipandang sebagai individu
yang terpisah, tatapi sebagai anggota dari kelompok sosial. Oleh karena itu,
bahasa dan pemakaian tidak diamati secara individual, tetapi dihubungkan dengan
secara sosial. Bahasa dan pemakaiannya yang dipandang secara sosial dipengaruhi
oleh faktor linguistik dan faktor nonlinguistik.
b.
Pengertian Campur Kode
(Chaer dan Agustina, 2004:114) Campur kode (code mixing) terjadi apabila seorang penutur
menggunakan suatu bahasa secara dominan untuk mendukung suatu tuturan yang
disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Gejala campur kode ini biasanya terkait
dengan karakteristik penutur, misal, latar belakang sosil, pendidikan,
kepercayaan, dan sebagainya. Dalam keseharian, masyarakat Indonesia yang
multilangual, kita sering sekali mendengar peristiwa campur kode ini.
Di dalam campur kode ada sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan
dan memiliki fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain yang terlibat
dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi atau
keotonomian sebagai sebuah kode. Seorang penutur misalnya, yang dalam berbahasa
Indonesia banyak menyelipkan serpihan-serpihan bahasa daerahnya, bisa dikatakan
telah melakukan campur kode.
c.
Pengertian Interferensi
Menurut Chaer (2004:120) istilah interferensi pertama kali
digunakan oleh Weinrich untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa
sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa
lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Interferensi mengacu pada adanya
penyimpangan dalam menggunakan suatu bahasa dengan memasukkan sistem bahasa
lain. Serpihan-serpihan klausa dari bahasa lain dalam suatu kalimat bahasa lain
juga dapat dianggap sebagai peristiwa interferensi. Sedangkan, menurut Hartman
dan Stonk (1972:115) dalam Chaer tidak menyebutnya “pengacauan” atau
“kekacauan, melainkan “kekeliruan”, yang terjadi sebagai akibat terbawanya
kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu atau diaek ke dalam bahasa atau dialek
kedua.
BAB III METODE DAN TEKNIK PENELITIAN
A.
Jenis Penelitian
Jenis
penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Menurut
Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2005:4), penelitian kualitatif adalah
penelitian yang menghasilkan data deskriftif yang berupa kata-kata atau lisan objek
yang diamati. Metode ini dilakukan dengan tidak menggunakan angka-angka, tetapi
menggunakan penghayatan terhadap interaksi antarkonsep yang sedang dikaji
secara emiris. Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan
masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan atau objek
penelitian berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.
Metode
penelitian tersebut digunakan untuk berfokus pada dialog-dialog atau ujaran dari kata-kata
yang dipakai oleh si penutur.
B.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dengan cara
merekam pembicaraan sesorang yang diteliti, dari pembicaraaan tersebut kemudian
dialog-dialog penutur ditulis dan diamati dengan melihat kata-kata apa saja yang
dipakai ketika bertutur. Data yang
diambil dari hasil percakapan dikalangan mahasiswa yang sedang bertutur dengan
temannya, percakapan tersebut berlangsung pada siang hari di sebuah kamar kosan
perempuan yang membicarakan mengenai masalah keluarganya, percakapan berlangsung
berdurasi sekitar 2 menit.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
A.
DESKRIFSI DATA (Hasil
rekaman)
Rekaman 1
a.
Waktu
: 14:22 WIB
b.
Tanggal : 26/12/2012
c.
Tempat : Di kosan
d.
Topik
: Membicarakan keluarganya
Peristiwa tutur :
A : Gue harus bisa
kata gw beli apa nih gue.
(Saya harus bisa, mau beli apa ini)
B : Aing mah boro-boro
ceuk aing tea, “de mamah mah beli baju
jeung si nenk, pas dideuleu sabaraha ieu mah? 75rb sasetel”, ceuk aing tea heeehhh neng iti!!! aing geh
teu menta haduh.
( “Apalagi saya” kata saya itu “de mamah beli baju untuk dede bayi
ketika dilihat berapa ini mah? 75ribu satu pasang”, kata saya itu haduh dede
iti!! Saya juga tidak minta)
A : Sareukseuk nyah .
. . .
(kesel melihatnya)
B : Hooh,, jengkel mah
demi allah, nu nyeseuhan popok, aing. Laju si bapa seneb mah “de ceunah,coba jing
ieu diseseuhkeun hela, kumaha dia mah nyesuhna teu kabeh”, kan capenya
urang, seneb mah dipaido, ya allah ya tuhan.
( Iya, kesel demi Allah, yang nyuci popok, saya! Ditambah bapak
bilang “ de” katanya coba ini dicuci dahulu, bagaimana kamu, menucucinya tidak
semuanya” kita kan cape, kesel di marahi saja, ya Allah ya Tuhan)
A : Orok mah
ganti-ganti bae.
(kalau bayi itu sering ganti-ganti saja)
B : Heeh, teteh aing
mararahan “geus eta geura diseseh”. Ceuk
mamah aing “Ges ulah loba keneh ditoko, urang meli bae”. Ceuk aing tea
edan sombong dia, sekebel emak aing meuli baju eta mah salamari orok ngaborong .
(Iya, kakak saya marah-marah “udah itu cepat dicuci”. Kata ibu saya
“ udah jangan, masih banyak di toko, kita beli saja”. Kata saya itu hebat
sekali, selama ibu saya beli baju itu seperti satu lemari bayi, belanja banyak)
A : Itu juga teteh gw.
“geus sih asal ada syarat ajah”, kata gw “ada neneknya ada bapaknya buru-buru
amat”, enek.
(Itu juga kakak saya “ udah asal ada syarat saja” kata saya. Masih
ada neneknya, ada kakeknya cepet-cepet sekali)
B : Aing geh enek, mah
aing mah teu dibeulikeun baju. “Kebae ate” mah. Masyaallah
(Saya juga kesel. “Mah saya juga tidak dibelikan baju. “nanti saja
tante” Masyaallah)
A : Adik gue ajah engga
suka dibeliin baju, kasian loh.belinya apa coba teteh gue ajah sama suaminya, bloon kan, najis ceuk aing naon meren.
(Adik saya saja tidak suka dibelikan baju, kasihan. Belinya hanya
kakak saya saja sama suaminya, bodoh kan, najis kata saya apa kali.)
A : Laju enek
mah, ogoan maruriang, naon coba daharna geh jatake bae, iraha dararia cageurna, cape
aing nyesuhan bae, enek gue mah
( kesel, manja sakit juga makannya jatake saja, kapan sembuhnya,
cape saya nyuci saja. Kesel itu )
B : Teteh aing geh
sarua, kamari beak 20juta lebih dia..
(kakak saya juga sama, kemarin habis 20juta lebih)
A : Kunaon???
(Kenapa???)
B : Ngalahirkeun,,
pertama kan perutna kontraksi bae anakna hanyang kaluar, terus ngalahirkeun
disesar dan seminggu kemudian setelah disesar teteh aing di kiret..
(Melahirkan, pertama perutnya kontrasi saja, bayinya ingin keluar,
setelah itu melahirkan di sesar dan seminggu kemudian setelah disesar kakak
saya dikiret)
A : Ko dikiret??..
(Kenapa dikiret)
B : Uterusna teu
kabawa, “lupa” ceuk dokterna kandungana teu dikaluarkeun”, apa gitu tempat
apanya gitu engga kebawa.
(Uterusnya tidak terbawa, “lupa” kata dokter kandungannya tidak
dikeluarkan”, apa gitu tempat apanya gitu tidak terbawa)
A : Gue mah kenapa sih
keluarga suaminya, suaminya ke yang gimana, itu mah orang tua gue lagi, orang
tua gue lagi hewa aing mah
(Saya itu, kenapa gitu dengan keluarga suaminya, suaminya coba yang
harus bagaimana, masa orang tua saya lagi, orang tua saya lagi, benci )
A : Sekarang gua dikekeyek coba , gua engga boleh sama orang
kayak gitu lagi, kayak teteh gue. Kata gue “itu mah salah sndiri milih orang
kayak gitu”.
(Sekarang saya di kekang, tidak boleh sama orang seperti itu lagi,
seperti kakak saya. Kata saya “ salah sendiri milih orang seperti itu”)
C : Ohh engga boleh
deket - deket yah..
(oh, tidak boleh dekat-dekat)
A : Iyahhh , gue di kasih
tau ibu gue, jgn kayak gitu yah ke gue “kenapa nyalahin gue kan”,
gue mh udah lama kan sama dia. Dia mah
baru kemaren kata gue, enggak mau kalo suruh kayak gitu.
(Iya, saya dikasih
tahu ibu saya, jangan seperti itu, “kenapa menyalahkan saya”, saya itu sudah
lama dengan dia. Kecuali dia, baru kenal kemarin, kata saya, tidak ingin jika
kalau diperintah seperti itu )
A : Sekarang juga
dirumah ajah engga ngapa-ngapain.
(Sekarang juga dirumah saja tidak melakukan apa-apa)
C :
Kerja??
(Kerja)
A : Engga, orang tidur
ajah dirumah.
(Tidak, orang tidur saja dirumah)
B.
ANALISIS DATA
1.
Bentuk rekaman Campur Kode.
Terjadi campur
kode ketika penutur A berbicara menggunakan B2 yaitu bahasa Indonesia kemudian
ditanggapi oleh penutur B dengan B1 yaitu bahasa sunda ragam kasar otomatis
penutur A menanggapi pembicaraan tersebut dengan menggunakan B2 yaitu (bahasa
Ibu) bahasa sunda ragam kasar. Karena dilatar belakangi oleh daerah asalnya
yaitu bahasa daerah (sunda) yang mana ketika si penutur B menanggapi pembicaraan
penutur A dia menggunakan bahasa daerah,
yang keduanya sama-sama berasal dari kelompok daerah yang sama. Maka terjadilah
unsur campur kode mencamurkan B2 ke B1 yaitu bahasa Indonesia ke bahasa Sunda
ragam kasar
Jika dilihat
dari percakapan di atas, penutur A memulai pembicaraannya dengan menggunakan
bahasa Indonesia yang kemudian ditanggapi oleh penutur B yang menggunakan
bahasa sunda ragam kasar. Kemudian penutur A menanggapi pembicaraan penutur B
dengan menggunakan bahasa sunda ragam kasar, menyesuaikan bahasa yang digunakan
oleh lawan bicaranya dan dilanjutkan kembali menggunakan bahasa Indonesia.
Berdasarkan kriteria kegramatikalan, dari awal pembicaraan penutur A
mencampurkan bahasa gaul yaitu kata “gue” dengan menyebutkan dirinya. Kemudian
dilanjutkan dengan bahasa Indonesia yaitu kata (harus bisa, beli apa).
Kata-kata (aing, mah, ceuk, tea, sih, amat). Merupakan serpihan bahasa
Sunda ragam kasar yang digunakan penutur A dan B dalam pembicaraannya.
PENUTUR A
Penutur A yang dalam berbahasa Indonesia banyak menyelipkan
serpihan-serpihan bahasa daerahnya yaitu bahasa sunda ragam kasar, untuk lebih
jelas dapat dilihat dari ujaran berikut:
A : Itu juga teteh gue.
“geus sih asal ada syarat aja”, kata gue “ada neneknya ada
bapaknya buru-buru amat”, enek.
A : Adik gue aja
sekarang mah engga suka dibeliin baju, kasian loh.belinya apa coba
teteh gue aja sama suaminya, boloon kan, najis aing naon meren.
Kata-kata yang
bercetak tebal merupakan serpihan – serpihan bahasa ragam sunda kasar yang
digunakan oleh penutur A. Kata yang bercetak miring merupakan serpihan dari
bahasa gaul. Dari peristiwa di atas dapat disimpulkan bahwa penutur A
mencampurkan dua bahasa sekaligus secara bersamaan yaitu bahasa gaul dan bahasa
sunda ke dalam bahasa Indonesia karena dilatarbelakangi oleh faktor lingkungan
dan kebiasaan. Pencampuran serpihan kata (bahasa Indonesia) di dalam bahasa
sunda ragam kasar yang digunakan ini merupakan peristiwa campur kode Maka
muncul lah ragam bahasa Indonesia yang
kesunda-sundaan yang sedikit menyelipkan bahasa gaul.
PENUTUR B
Sama halnya dengan penutur A yaitu peristiwa Campur Kode, tapi jika penutur B dalam
pembicaraannya banyak mencampurkan serpihan-serpihan bahasa Indonesia ke dalam
bahasa Sunda ragam kasar, untuk lebih jelas dapat dilihat dari ujaran berikut:
B : Ngalahirkeun,, pertama
kan perutna kontraksi bae anakna hanyang kaluar, terus
ngalahirkeun disesar dan seminggu kemudian setelah disesar teteh aing di
kiret..
B : Uterusna teu kabawa, “lupa”
ceuk dokterna kandungana teu dikaluarkeun”, apa gitu tempat apanya gitu
engga kebawa.
Kata-kata yang
bercetak tebal merupakan serpihan – serpihan bahasa Indonesia yang dicampurkan
ke dalam bahasa dominan atau bahasa yang digunakannya yaitu bahasa sunda ragam kasar
yang digunakan oleh penutur B. Pencampuran serpihan kata bahasa sunda ragam
kasar di dalam bahasa Indonesia yang digunakan merupakan peristiwa campur kode.
Maka dari peristiwa di atas dapat disimpulkan bahwa penutur B mencampurkan
bahasa Indonesia ke dalam bahasa Sunda ragam kasar. Maka muncul lah ragam
bahasa Indonesia yang kesunda-sundaan.
2.
Bentuk rekaman Interferensi
Dari hasil rekaman di atas jika kita
lihat penutur A dalam pembicaraannya terkadang menyelipkan ujaran suatu bahasa
terhadap bahasa lain yang mencakup pengucapan dalam tata bentuk kata bidang (Morfologi).
Interferensi ini terjadi dalam
pembentuka kata dengan menyerap afiks-afiks bahasa lain. Dapat dilihat dari
hasil rekaman di atas yaitu penutur A menyelipkan kata-kata yang menyerap
afiks-afiks lain yaitu dengan menyebutkan kata (dibeliin, ngapa-ngapain,
nyalahin, kebawa). Jika di lihat pada tingkat morfologi Sufiks (-in)
itu tidak ada, ini merupakan kekeliruan yang terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan
dalam ujaran bahasa Ibu atau dialek ke dalam bahasa (dialek kedua) dan ini
merupakan peristiwa penyimpangan norma dari salah satu bahasa atau lebih.
Ramlan
(2009:139) Jika Afiks ke- pada kata di atas, pada umumnya melekat pada
bentuk dasar yang termasuk golongan kata bilangan, namun ada juga yang melekat
pada bentuk dasar yang bukan kata bilangan, tetapi jumlahnya sangat terbatas,
contohnya kehendak, ketua, kekasih
dan ketahu. Pada kata kehendak, ketua dan kekasih, afiks ke-
berfungsi membentuk kata nominal, sedangkan pada kata ketahu afiks ke-
berfungsi membentuk pokok kata. Maka pada kata kebawa jika afiks ke-
dirubah menjadi afiks ter- akan berterima karena afiks ke- telah
dijelaskan di atas yaitu tergolong dalam kata bilangan sedangkan kata kebawa
bukan tergolong kata bilangan. Oleh karena itu untuk lebih tepat lagi jika kata
kebawa dirubah menjadi terbawa, karena afiks ter- termasuk
golongan kata kerja
Bentuk-bentuk
tersebut dikatakan sebagai bentuk interferensi karena bentuk-bentuk tersebut
sebenarnya ada bentuk yang benar, yaitu (dibelikan, disalakan, diam saja,
terbawa) namun tidak digunakan sesuai konteksnya. Maka berdasarkan data-data di
atas jelas bahwa proses pembentukan kata yang disebut interferensi pada tingkat
Morfologi tersebut mempunyai bentuk dasar berupa kosa kata bahasa Indonesia
dengan afiks-afiks dari bahasa daerah.
Dilihat dari
segi kemurnian bahasa, interferensi pada tingkat apa pun merupakan “penyakit”,
sebab “merusak” bahasa. Jadi, perlu dihindarkan. Orang-orang yang berpaham
purisme di Indonesia tentu tidak dapat menerima bentuk-bentuk kata seperti kebawa,
nyalahin, dibeliin dan ngapa-ngapain. Begitu juga penggunaan unsur
bahasa lain dalam bahasa Indonesia dianggap juga sebagai suatu kesalahan.
C.
PEMBAHASAN
Penutur A dan B, yang berbahasa Ibu sama,
bercakap-cakap dalam bahasa Sunda ragam
kasar, namun sesekali penutur A dan B melakukan campur kode yaitu ketika penutur
B memulai pembicaraan dengan lawan bicaranya
(penutur B) menggunakan bahasa Indonesia, namun ketika ditanggapi oleh
penutur B menggunakan bahasa sunda ragam kasar, setelah pembicaraan berlanjut
sesekali penutur A mencampurkan bahasa Indonesia ke dalam bahasa Sunda ragam
kasar. Namun, berbeda dengan penutur B peristiwa campur kode ketika penutur B
mengutip pembicaraan orang lain, penutur B sesekali mencampurkan bahasa
Indonesia ke dalam bahasa Sunda ragam kasar yang di pakainya. Dari penjelasan
di atas penutur A dan B mengalami peristiwa campur kode karena dilatar
belakangi oleh situasi dan kondisi yang terjadi dilingkungannya ketika
bertutur.
Berbeda halnya dengan peristiwa Interferensi, berdasarkan
hasil rekaman di atas terdapat peristiwa Interferensi yang dilakukan oleh
penutur A. Peristiwa Interferensi ini dalam bidang Morfologi, antara lain
terdapat pembentukan kata dengan afiks. Chaer (2004:123) Afiks-afiks suatu
bahasa digunakan untuk membentuk kata dalam bahasa lain. Masalah ini terjadi
dalam bahasa Indonesia ada sufiks-in, maka penutur A bertutur
menggunakannya dalam pembentukan kata bahasa Indonesia yaitu pada kata kebawa,
beliin, nyalahin . Dalam tingkatan Morfologi Sufiks –in yang
dipakai penutur B itu tidak ada.
Bentuk-bentuk tersebut merupakan penyimpangan dari sistematik morfologi bahasa
Indonesia. Sebab untuk proses
pembentukan kata dalam bahasa Indonesia ada Sufiks –kan. seharusnya dibelikan, sufiks MeN-
menjadi menyalahkan, dan Prefiks ter- menjadi terbawa.
BAB V
PENUTUP
Kebebasan penggunaan bahasa yang dilakukan oleh penutur dan lawan
tutur di atas semata-mata dilakukan dengan faktor ketidak sengajaan.
Pencampuran bahasa atau interfernsi
dilakukan karena dilatar belakangi oleh situasi dan penutur yang
sama-sama berasal dari daerah (sunda), penutur A yang mencampurkan bahasa
Indonesia ke bahasa sunda di latar belakangi oleh keterbiasaannya dia
menuturkannya dengan orang, kemudian sama halnya dengan penutur B yang
mencampurkan bahasa sunda ke bahasa Indonesia dilatar belakangi oleh adanya
kutipan-kutipan orang yang dia bicarakan, sehingga penutur B mencampurkan
bahasa Indonesia ketika mengutip pembicaraan sesorang. Berdasarkan rumusan
masalah di atas maka dapat disimpulkan bahwa, kode yang digunakan di lingkungan
kostn ketika berbicara tergantung situasi dan siapa lawan. Seperti halnya pada
rekaman di atas, terkadang penutur A dan B menyelipkan atau mencapurkan
serpihan-serpihan B1 dan B2 ke dalam bahasa dominan. Berbeda halnya dengan
Interferensi, karena terbiasa bertutur dengan bersufiks (-in) maka jika bertutur dengan lawan tuturnya yang
lain akan terulangi kembali. Oleh karena itu disebabkan oleh lingkungan sekitar
dan tempat tinggalnya yang mengakibatkan terjadinya Interferensi (penyimpangan)
bahasa.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal.
Jakarta: Rineka Cipta
Moloeng, Lexy J. 2005. Metodelogi Penelitian Kualitatif.
Bandung: Remaja Rosdakarya
Aslinda dan Syafyahya. 2010. Pengantar Sosiolinguistik. Bandung:
Rafika Aditama.
Ramlan. 2009. Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif.
Yogyakarta: C.V. Karyono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar